Sabtu, 28 Agustus 2010

SURAT BUAT 'R'


Dalam dekapan ukhuwah, kita mengambil cinta dari langit. Lalu menebarkannya di bumi. Sungguh di surga, menara-menara cahaya menjulang untuk hati yang saling mencinta.


Mari membangunnya dari sini, dalam dekapan ukhuwah. Jadilah ia persaudaraan kita; sebening prasangka, sepeka nurani, sehangat semangat, senikmat berbagi, d...an sekokoh janji. Selamat datang dalam dekapan ukhuwah, Aku mencintai kalian karena Allah

(Salim A. Fillah, Dalam dekapan Ukhuwah).

***
Setiap kali mengeja namamu di dunia maya, entah mengapa, ada banyak kata yang kusiapkan untuk melukiskan namamu. Namun selalu saja, kata – kata itu seolah menguap menjadi entah apa. Barangkali seumpama embun yang terpanggang cahaya.

Ya, kita hanya bertemu di dunia maya saja. Entah bagaimana ukhuwah itu tercipta. Apakah dia turun begitu saja dari langit, dan kau menangkapnya dengan uluran yang sempurna?


Sahabatku ‘R’…


Ribuan lautan memisahkan kita. Kita sungguh tak pernah bertemu muka. Bahkan kau tak tau siapa aku, sebagaimana akupun tak tau siapa engkau yang sebenarnya. Apakah betul manusia biasa ataukan malaikat yang diutus tuhan ke bumi?! Aku pernah bertanya dengan ribuan kalimat tanya. Namun aku selalu membaca barisan makna di layar hp-ku. Beginikah ukhuwah itu tercipta?

Aku tau… kau tak akan rela kubuka semua ini. Tapi sungguh, aku ingin menyampaikan kepada dunia. Tentang indah ukhuwah antara kita.

Sore itu, sungguh menjadi sore paling kelabu dalam kehidupan kami. Aku sedang mengajar di sebuah SMA di kotaku, ketika Mam (ibuku) mengsms aku dengan kalimat air mata; “Pulanglah nak… adekmu terkenan listrik tegangan tinggi. Kulitnya terbakar. Pulanglah… kita akan mengantarnya ke rumah sakit sore ini juga.”

Tergesa, kusambar tas kerja dan beberapa alat tulis di atas meja, sembari meminta maaf pada murid – muridku. Galau itu menerobos begitu saja tanpa permisi.

Ya Allah… seminggu yang penuh cobaan. Beberapa hari sebelumnya, ponakanku, Anas (8 tahun) dan adekku, Dudi (21 tahun) mengalami kecelakaan lalu lintas. Dan kini, Fadillah (15 tahun) tersengat listrik ribuan kilowatt. Dari kabar yang aku dengar, dia bermain – main di rumah temannya. Rumah susun. Namun tanpa sengaja, sapu bergangang besi yang dipegang Fadillah bersentuhan dengan kabel telanjang. Membuat seluruh tubuhnya hangus terbakar. Hanya kata – kata lirih yang terucap dengan air mata; tolongggggggggggg…. Aku tidak ingin mati! Aku belum mau mati!

Hari itu menjadi hari paling muram bagi kami. Biaya yang tak sedikit sangat dibutuhkan untuk mengobati adekku. Kucek ATM-ku. Sungguh tak mencukupi. Terpaksa tabunganku yang sedianya untuk biaya kuliahpun kukuras habis. Meski Mam menatapku dengan penuh rasa bersalah.

“Nggak apa – apa kok Mam. InsyaAllah Dy ada rejeki lain nanti.” Kilahku. Meskipun aku tak yakin dan merelakan mengulang KKN-ku tahun berikutnya. Tak apa.

Sampai akhirnya, karena RSUD Bima tidak mampu lagi merawat adekku, diapun dirujuk ke rumah sakit Sangla, Denpasar. Kami melepas Mam dan Fadillah dengan air mata berlinangan. Bahkan kukejar mobil yang membawa bunda dan adekku itu dengan sudut mata berair, hingga hilang dari pandangan.

Hari – hariku menjadi penuh dengan do’a dan air mata. Bukan. Bukan karena aku tak bisa KKN. Sungguh, tak sedikitpun terlintas di pikiranku tentang itu. Aku justru lebih berpikir bagaimana caranya membantu Mam, agar bisa sedikit lebih ringan. Aku tau, betapa banyaknya biaya yang tentu saja harus kami keluarkan.

Aku mencoba menegarkan diri. Kuhubungi beberapa toko buku, membawa sekitar 30-an novelku. Berharap mendapat sedikit rejeki. Namun nihil. Hampir semua toko buku menolak, ketika aku meminta dibayar dimuka. Meskipun aku tak malu – malu menceritakan masalahku. Sungguh, kami betul – betul butuh uang untuk biaya obat – obatan dan juga untuk memamah hidup.
Kuhubungi beberapa teman penulis yang sudah cukup terkenal dan aku pikir bisa meminjamkan kami sedikit uang. Aku terpaksa menggadaikan harga diriku. Tak apa. Demi keluarga. Tokh aku juga yakin akan bisa menggantikannya. Namun tetap saja nihil.

Sampai akhirnya, pertahananku roboh. Seharian penuh aku keliling semua toko buku menawarkan novel – novelku. Tak satupun terjual. Hari sudah sangat malam. Insya bahkan sudah bergema.

Adekku, Sadam, meng-sms agar aku segera pulang.

“Nanti. InsyaAllah abang akan pulang kalau sudah ada rejeki.”

Aku betul – betul patah arang. Aku singgah di sebuah masjid. Menangis. Memohon. Menghiba. Tanpa terasa, air mataku berlinangan.
Aku buka facebook-ku. Kutulis status dengan harapan banyak yang mengamini…

“Tuhan… beri hamba rejeki…”

Itu saja!

Sedetik kemudian, hp-ku berbunyi. Ada sms masuk.

“Aku teman FB-mu Dirman…”

Aku ingat. Aku pernah menulis nomorku dan menjual buku di statusku. Bahkan beberapa teman FB kuberikan nomor HP-ku agar bisa saling berbagi di dunia nyata juga. Tap isms kali ini, nomor asing yang belum tercatat di HP-ku.

“Ada yang bisa aku bantu, Dirman?!”

Tak kubalas. Kuhapus pesan itu, kemudian bergegas menuju rumah. Adik – adikku menunggu!

***

Esoknya, Mam menelpon…

“Nak… kamu masih ada tabungan?”

Glek. Aku menelan ludah. Pahit.

“Ada apa, Mam?!”

“Jika ada, mam pinjam 350 ribu lagi, nak. Untuk biaya obat.”

Air mataku berderai lagi. Tabunganku benar – benar kosong.

“Bagaimana nak?!”

“InsyaAllah Dy usahakan.” Kataku.

Kali ini, kutelpon sahabatku yang mempunyai toko buku di Mataram. Namun, tetap saja nihil.

Putus asa. Marah. Kecewa. Dan entah apa lagi. Semua beradu. Menjadi…. Air mata!

Kupegang hp-ku. Jalan terakhir. Aku menuju konter, berniat menjual Hp. Namun sekonyong – konyong, hp-ku berdering. Ada sms masuk.

“Dy… maaf ya, aku mengirimkan uang untukmu. Tak banyak. Tapi semoga bisa membantu.”

“Siapa?” balasku

“Sahabat FB-mu. Ini rejeki dari Allah. Kau tak perlu tau siapa aku.”

Antara percaya dan tidak. Aku menuju ATM. Subhanallah… 400 ribu tertera di layar ATM. Kabur… air mataku menetes dalam syukur.

Bagaimana? Bagaimana kau membantuku padahal kau sama sekali tak mengenalku? Bahkan kita terpisah jarak ribuan kilometer? Bagaimana? Kaukah malaikat yang diutus Tuhan untuk menolong kami?

Sungguh aku tergugu. Kuhubungi bank. Berharap menemukan nama seorang malaikat yang mengulurkan kasih. Dan aku temukan namamu sebagai pengirim. Kau cukup cerobos ternyata.

‘R’… aku tau… kau tak akan ikhlas kutulis namamu di sini. Tapi terima kasih untuk ukhuwah yang indah ini. Aku mengirimimu beberapa buku dan ribuan do’a. apakah sudah kau terima? ***

6 juli 2010

2 komentar:

Unknown mengatakan...

mieny udah baca....kok mieny nagis yach, Kisahnya sungguh menguras / menyentuh jiwa Kak

Akhi Dirman Al-Amin mengatakan...

Mieny :
makasih ya selalu mampir ke sini :)
smg memberikan sesuatu