Rabu, 21 April 2010

PEREMPUAN INDONESIA, MENYALALAH!!!


PEREMPUAN INDONESIA, MENYALALAH!!!
(Pelajaran Hidup dari ‘Tanah Perempuan’ karya Helvy Tiana Rosa)




Dengar, Nak. Dulu saya dan para inong bale bertempur di darat dan lautan tanpa takut mati. Ketika rumah kami hancur, ketika suami dan anak-anak kami terbunuh dalam peperangan melawan Portugis maupun Belanda, semangat kami tetap tak redup. Kami tetap tak ingin mati! Kami makin menyala! Saya memimpin para lelaki juga para janda bertempur di lautan tanpa kenal lelah. Suami, anak, kerabat kami boleh terbunuh. Kampung – kampung kami boleh dihancurkan. Dan setiap kali itu terjadi, semangat bangkit kami bertambah beribu kali lipat!
(Laksamana Keumalahayati, Babak V, Tanah Perempuan)

***

Sejarah telah mencatat nama – nama besar perempuan Aceh. Yang bahkan ketegarannya mampu mengalahkan ketegaran para lelaki. Sebut saja nama Cut Nyak Dien, maka kita akan merasa ‘bergetar’ akan keperkasaan dan ketangguhannya. Selain Cut Nyak Dien, ada banyak nama pahlawan perempuan Aceh yang ‘kurang populer’ di telinga pelajar kita, di antaranya ada Cut Nyak Meutia, Pocut baren, Pocut Meurah Intan, Laksamana Keumalahayati dan juga Taj’al Alam Safiatuddin Syah.

Cerita epos tentang ketangguhan perempuan Aceh dikemas dengan apik oleh Helvy Tiana Rosa (HTR) dalam Tanah Perempuan (TP). Sebuah drama yang akan membawa kita pada berbagai nuansa yang bermuara pada satu hal, bahwa apapun, hidup akan terus berjalan. Cobaan dan rintangan yang menerpa jalan kita harusnya membuat kita semakin ‘menyala’ bukan malah ‘mati’.

Tak banyak perempuan penulis naskah drama di Indonesia. Kita mengenal Ratna Sarumpuaet dengan teater ‘Satu Merah Panggungnya’ yang pernah kontroversi dengan naskah – naskah tentang HAM-nya (Marsinah Nyanyian dari Bawah Tanah dan Marsinah Menggugat). Selain Ratna Sarumpuaet sangat sulit menyebutkan beberapa nama perempuan yang menulis genre ini. Helvy Tiana Rosa adalah satu dari sedikit penulis perempuan Indonesia yang juga menulis naskah drama. Selain dikenal luas sebagai pendiri Forum Lingkar Pena (FLP), organisasi yang mengkader dan membina para penulis muda yang tersebar hampir di semua kota di nusantara dan bahkan telah membuat jaringan di beberapa negara, HTR juga adalah pendiri Teater Bening, sebuah klub teater alternatif yang semua anggotanya adalah perempuan. Sekitar sembilan naskah dramanya pernah dipentaskan oleh teater bening di Gedung Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marjuki, serta keliling Jawa - Sumatera. Namun baru kali ini HTR --yang telah menerbitkan puluhan buku ini-- menerbitkan naskah drama, dibawah bendera Penerbit Lapena, 2007.


TENTANG TANAH PEREMPUAN

Tanah Perempuan bercerita tentang seorang perempuan Aceh bernama Safiah Cut Keumala. Dari dialog Malahayati (Babak V), Dalam nama tokoh utama drama ini ada Safiatuddin Syah, Cut Nyak Dien, dan Keumalahayati. Ketiga tokoh ini adalah perempuan – perempuan perkasa yang ada di Aceh.
Dalam darahmu ada kami. Sungguh dalam sejarah kita, para lelaki Aceh dikenal berani, tegar dan pantang menyerah. Namun semangat dan ketabahan para perempuan tanah ini tak jarang melampaui mereka. Tiap diri kita adalah kapal yang tak karam dihantam gelombang dan karang. Percayailah Allah dan percayailah dirimu (Malahayati, babak V).

Safiah Cut Keumala atau yang biasa dipanggil Mala adalah seorang guru pengajar bidang studi Sejarah di sebuah SMU di Aceh. Tragedi telah menjadi bagian hidup Mala. Ma’e, abangnya tercinta, hilang tak tentu rimba. Kemudian ayahnya ditembak oleh orang tak dikenal persis di depan rumah mereka sendiri. Mak, ibu Mala, begitu terguncang mendapati kenyataan pahit yang bertubi – tubi mendera hidupnya, sehingga dia menjadi sakit – sakitan. Bahkan Majid, suami Mala, dibawa paksa oleh orang yang mengaku dari kepolisian ketika pergi ke rumah Ibrahim, sahabatnya yang dokter, untuk mengobati Mak. Imran, adik Mala memaksa keluarganya untuk pindah ke Penang, namun mak dan Mala tak mau. Bahkan, karena selalu kehilangan lelaki dalam hidupnya, Mak memaksa Imran untuk pergi karena tak ingin Imran diculik, ditahan atau bahkan dibunuh. Hanya seorang lelaki kecil yang menemani hidup Mala dan Mak, yaitu Agam, anak Mala.

Sampai akhirnya Tsunami yang dahsyat menyerang Serambi Mekkah. Memporak-porandakan rakyat Aceh ke dalam titik nadir, demikian juga Mala. Rumah keluarganya hancur lebur tanpa sisa. Tubuhnya luka dan begitu lemah. Dia kehilangan Mak dan Agam yang entah kemana rimbanya, terpisah karena dahsyatnya tsunami. Hanya satu yang diinginkannya; MATI. Ya, hanya MATI!!!

Namun, sekonyong – konyong, Mala bertemu dengan Laksamana Keumalahayati, pahlawan armada laut Aceh yang juga laksamana perempuan terkemuka di dunia yang hidup pada abad XIV. Mala juga bertemu dengan Taj’al Alam Safiatuddin Syah, janda Iskandar Tsani dan putri Iskandar Muda yang memerintah selama 34 tahun! Aceh dapat membanggakan kebesaran tokoh wanita ini dalam sejarahnya yang mungkin tidak ada duanya dalam lembaran sejarah nasional . Bahkan Mala juga bertemu dengan Cut Nyak Dien, Cut Nyak Meutia, Pocut baren dan Pocut Meurah Intan.

Maka, membaca drama ini, kita akan kembali mengingat masa. Sepertinya ini juga adalah salah satu tujuan HTR menulis Tanah Perempuan ini; membuka mata kita akan banyaknya pahlawan wanita yang perkasa di Aceh, dan bagi orang Aceh sendiri agar tidak terlelap dalam kegetiran hidup. Karena perempuan Aceh adalah perempuan perkasa.

Ya. Begitulah perempuan yang bernama Aceh. Mala, sekalipun dalam keputus asaan yang telah merampas semangat hidupnya entah kemana, namun ia tetap bertahan untuk mati dengan cara ‘terhormat’; tidak makan dan minum hingga dia pingsan!!! Hal ini kita temui dalam Babak V adegan 1 naskah drama ini.

Musik itu makin mengeras. Hujan menderas. Angin makin kencang, menampar – nampar wajah dan kerudung Mala yang koyak moyak serta lusuh itu. Meski lemah, gontai Mala berusaha mencari sesuatu. Ia menemukan sebuah pecahan seng setajam pisau.
MALA :
(memegang seng sekecil pisau itu) betapa susahnya kematian bila diupayakan. (menimbang – nimbang untuk mempergunakan sebilah seng tersebut). Tak mungkin. Tak mungkin aku bunuh diri dengan cara seperti orang kafir (melempar benda tajam itu dari tangannya). Aku tak akan makan. Aku tak akan minum. Aku akan berpuasa untuk mati… (menggigil). Itu saja. (makin menggigil).
Mala Pingsan.



HELVY , ACEH DAN SEMANGAT ITU

Helvy Tiana Rosa pertama kali ’muncul’ dalam peta sastra Indonesia adalah karena organisasi yang didirikannya, Forum Lingkar Pena, yang fenomenal. Juga karena salah satu cerpennya ”Jaring Jaring Merah” dinobatkan menjadi salah satu cerpen terbaik majalah sastra Horison dalam satu dekade (1990 – 2000). Selain itu, Helvy Tiana Rosa juga adalah penerima 20 penghargaan tingkat nasional di bidang penulisan, keteladanan dan pemberdayaan masyarakat.

Helvy, yang saya perhatikan, telah banyak menulis tentang Aceh. Salah satunya adalah Tanah Perempuan ini. Sebelumnya, yang pernah saya baca ada Jaring – jaring Merah, Pulang, ketika Cinta Menemukanmu, Cut Vi dan beberapa lainnya.

Helvy memang memiliki ketertarikan luar biasa menulis tentang tragedi – tragedi kemanusiaan, bahkan tak jarang tulisannya membutuhkan ancang – ancang penelitian.
Dalam bukunya Segenggam Gumam (Asy Syaamil, 2003) Helvy bertutur bahwa dua tema yang mewarnai hampir semua tulisannya adalah tema kecintaan pada Illahi dan perjuangan kaum tertindas.

Mengapa?!

”Bagi saya, menulis adalah refleksi dari amar makruf nahi mungkar. Dalam hal ini saya berusaha mengajak pembaca merenungi kembali hakikat diri sebagai hamba Illahi. Selain itu, saya ingin menginformasikan sekaligus menggungah kepedulian pembaca tentang pelanggaran hak – hak asasi manusia di dunia pada umumnya dan di Indonesia khususnya.”

Maka, membaca Tanah Perempuan ini adalah membaca semangat. Membaca sebuah kepedulian. Membaca cinta. Membaca kembali diri kita sendiri dan menggugah nurani kita; sejauh mana kita peduli pada nasib saudara – saudara kita yang tertindas dan menderita di pojok dunia yang lain?!

Ada sebuah ’kekuatan’ bernama semangat dan motivasi yang akan anda temukan dalam naskah drama setebal 122 halaman ini. Dengan latar Aceh yang berdarah – darah. Drama ini melukiskan dengan nyata penderitaan rakyat Aceh. Mulai dari masa penerapan DOM (Daerah Operasi Militer) yang bagaikan mimpi buruk bagi rakyat Aceh, kemudian disusul tsunami yang menjadi setting utama naskah drama ini.

Yang menarik, cerita – cerita yang ‘berdarah-darah’ ini disampaikan dengan sangat ‘cantik’ dengan gaya penuturan yang memikat dan puitis. Nampaknya ini menjadi kekuatan karya – karya Helvy yang membuat pembacanya enggan untuk tidak membaca sampai akhir keindahan tuturan Helvy yang mirip sebuah puisi, meskipun bukan itu tujuan utama yang ‘dibidik’ oleh Helvy. Helvy berbicara tentang perang, cinta, kemanusiaan, politik akan tetapi disampaikan dengan cara yang indah dan menyentuh dengan bahasa yang begitu bergelora, yang sanggup ‘mencuri’ perhatian pembacanya.

Maka, di tengah euforia karya penulis perempuan yang seakan ’berlomba – lomba’ untuk menulis ’sastra kelamin’, kehadiran Tanah Perempuan adalah angin segar bagi sastra indonesia yang bertujuan untuk memotivasi anak bangsa agar tidak hanya bisa menangis karena alasan – alasan yang sepele dan klise, karena kita masih punya tangan dan kaki untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat bukan hanya bagi diri kita sendiri, tapi untuk orang banyak.

Sayapun pernah kehilangan segala, anak dan suami. Tapi itu membuat saya melakukan apa saja untuk bisa tegak berdiri dan merebut kebahagiaan lain, yaitu melihat Aceh bangkit! (Dialog Malahayati)
Maka, apakah yang bisa saya katakan untuk Tanah Perempuan, selain sebagai sebuah karya luar biasa yang lahir dari hati yang akan memotivasi anak bangsa kita (baca : perempuan Indonesia) agar semakin ’menyala’ bukan malah ’mati’!***

Kamar Bujangan, Bima yang damai, Revisi 1 April 2010
(untuk adikku: Zaki, Nazer, Satria, Emzy; teruslah menyala....)


Bahan bacaan :
1. Rosa, Helvy Tiana. TANAH PEREMPUAN, 2009, Lapena.
2. Majalah Sastra Horison, No : T1.3 Tahun XXXIX, 2005
3. Rosa, Helvy Tiana. Segenggam Gumam. 2003, Bandung : Asy Syaamil.
4. Rosa, Helvy Tiana. Risalah Cinta Untukmu. 2008, Jakarta : Lingkar Pena Publishing House
5. Said, H. Mohammad. Aceh Sepanjang Abad, Jilid 1. NAD : Pemerintah daerah Nanggroe Aceh Darusalam