Kamis, 15 Februari 2018

750 RIBU RUPIAH, 21 TAHUN KEMUDIAN



“Apa? 750 ribu rupiah kamu BUANG begitu saja?!” Itu suara Bi’ Noniek, adik mama. Kata ‘buang’ ditekan sedemikian rupa seolah aku akan membuang uang itu begitu saja, tanpa sesuatu apapun yang akan aku dapatkan.

“750 ribu itu bukan uang yang sedikit nak….” Mama mencoba melunakkan hatiku.

Yah… aku paham banget apa yang beliau pikirkan. Sebagai seorang penjual makanan ringan kecil-kecilan di kios mungil di depan rumah kami, tentu saja uang tujuh ratus lima puluh ribu rupiah menjadi begitu besar nilainya. Nominal yang hampir sama besarnya dengan gajiku 2 bulan mengajar kursus di sebuah lembaga kursus komputer plus di sebuah sekolah negeri tempatku mengabdi.

Aku mencoba berbicara dari hati ke hati dengan mereka. Meski sangat sulit. Tentang pengorbanan. Tentang keinginan membangun jaringan kepenulisan. Tentang perjuangan. Dan Alhamdulillah, meskipun dengan berat hati, ibu saya akhirnya mengijinkan saya untuk menghadiri Musyawarah Nasional FLP di Yogyakarta, dengan modal tujuh ratus lima puluh ribu rupiah, gaji saya beberapa bulan yang saya tabung.


SEBUAH AWAL
Saya adalah orang yang cinta menulis dan membaca. Sejak kecil, waktu saya SD, majalah bobo dan beberapa buku terbitan Balai Pustaka yang menghiasi perpustakaan sekolah ataupun yang dipinjam kakak-kakak saya yang saat duduk di bangku SMP dan SMA. Maka, saat kecil, saya sudah terbiasa membaca “Olenka”-nya Budi Dharma, “Dan Perangpun Usai”-Ismail Muharimin, juga kumpulan puisi Taufik Ismail, Chairil Anwar, Subagio Sastro Wardoyo dan beberapa penulis pujangga baru lainnya.

Imajinasi sayapun terbentuk dengan baik, karena kakak-kakak saya sering mendonggeng setiap malam, ketika kami hendak istirahat.

Karena itulah, mungkin, saya menjadi aktor kecil. Guru Bahasa Indonesia saya kala itu, Ibu Nurmi, yang kebetulan adalah seorang pelakon teater, sering mengajak saya untuk bermain teater, atau ikut lomba membaca puisi. Berkat kesabaran beliau, Alhamdulillah saat itu beberapa puisi saya dimuat di majalah Bobo.

Namun sesungguhnya, titik balik saya untuk mencintai mati-matian dunia kepenulisan adalah ketika saya mengenal Annida dan Helvy Tiana Rosa ketika saya duduk di bangku SMA. Saya pertama kali ‘bertemu’ Helvy Tiana Rosa di majalah sastra Horison. Membaca “Jaring-jaring Merah”[1] membuat saya jatuh cinta habis-habisan dengan sastra islam. Maka saya berusaha mati-matian mencari majalah Annida dimana saat itu beliau menjadi Pemred. Alhamdulillah, saya menemukannya di sebuah toko kecil di kota saya. Di toko itulah saya bertemu dengan banyak keajaiban; perempuan penjaga toko yang begitu baik meminjamkan saya beberapa buku sekaligus mengajarkan saya tentang makna hidup, juga mas Gagah[2]. Ya, mas Gagah yang membuat saya bertanya pada diri sendiri; Dirman… untuk apa sebenarnya kau diciptakan?

Entahlah. Saya membuka beberapa cerpen remaja saya yang dimuat di beberapa media kala itu. Juga saya tempel dengan pede di majalah dinding sekolah yang saya rintis. Entah. Tiba-tiba saya malu. Tiba-tiba mata saya begitu memanas. Tiba-tiba saya merasa begitu tak berarti.

Maka, saat itu juga, saya mengirim aplikasi ke majalah Annida. Mendaftar untuk menjadi anggota Forum Lingkar Pena. Sebuah forum kepenulisan yang dirintis oleh Helvy Tiana Rosa, Asma Nadia dan Maimon Herawati.  Sampai akhirnya, saya mendapatkan sebuah kartu anggota Forum Lingkar Pena. Namun, karena tidak adanya jaringan di Bima (saat itu
FLP di NTB belum ada yang aktif, bahkan saya tidak tau siapa ketuanya), kartu itu saya simpan begitu saja di dompet saya. Dan lama-lama, hilang entah kemana. FLP saya lupakan. Meskipun tangan saya tak pernah berhenti menulis.

BANGKIT
Awal 2006, secara tak terduga, beberapa puisi saya dimuat di majalah sastra Horison. Tentu saja ini kabar yang luar biasa bagi ‘anak desa’ seperti saya. Bayangkan, saya berjuang mati-matian mengirim karya ke banyak majalah dengan modal mesin ketik tua milik paman saya. Saya membantu beliau mengetik banyak laporan kehutanan (kebetulan beliau kepala kehutanan kecamatan). Dan ketika laporannya selesai saya ketik, saya mengetik beberapa cerpen dan puisi saya yang kemudian saya kirim ke beberapa majalah.

Di tahun yang sama, saya mendapat beberapa kabar yang membuat saya melambung; beberapa cerpen saya juga dimuat di majalah Annida, sabilli, Deep Smile File, Al-Izzah bahkan kumpulan cerpen yang saya tulis semasa SMA, “Negeri Air Mata” lolos terbit di sebuah penerbit setelah ‘sukses’ ditolak hampir 10 penerbit. Alhamdulillah…. Lebih bersyukur lagi karena pada akhirnya buku itu menjadi buku bacaan wajib siswa-siswa di NTB dan dicetak ulang beberapa kali.
Pada saat itu juga, saya mulai mengenal internet. Saya menggunakan internet untuk mengirim karya via email dan juga browsing untuk bahan cerpen-cerpen saya yang bertema lokal. Mahal memang, 20.000/jam, itupun saya harus ke kota dengan jarak 1 jam perjalanan dari rumah saya.  Mengenal internet, membuat semangat saya yang pernah mati ‘kambuh’ lagi.

Forum Lingkar pena. Ya! Saat itu, FLP sedang masa jaya-jayanya. Saya mencoba mencari di internet informasi tentang FLP di NTB. Nihil. Tak ada ‘jejak’ apa-apa yang saya temukan. Dan entah bagaimana, timbul keinginan saya untuk membangun jaringan di NTB. Saya mencari nomor kontak yang bisa saya hubungi. Dan Alhamdulillah, berkat kecanggihan tekhnologi, saya menemukan nomor telepon rumah Helvy Tiana Rosa dan juga Rahmadiyanti Rusdi. Maka, terutama dengan mbak Helvy, saya sering berkomunikasi. Dan… ya Allah… saya berjanji pada diri sendiri untuk membangun FLP di kota kecil saya, Bima.

Langkah pertama yang saya lakukan adalah mengumpulkan beberapa teman saya yang suka menulis; Guntur, Dudy, Fitri, Furkan, Kak Iksan, Imam dan Nazer. Kami berdepalan sepakat membentuk FLP Bima. Sebagai langkah awal, kami menyebar ke beberapa SMA untuk menempel pamflet yang saya buat dan juga  mengadakan berbagai acara bedah buku dan sejenisnya bekerja sama dengan organisasi kemasyarakatan lokal.

Pada saat itulah, mbak Helvy meng-sms saya tentang Musyawarah Nasional FLP. Dan, mbak Rahmadiyanti-pun mengirimi saya proposal yang bisa saya ajukan ke Pemda sebagai utusan Bima untuk menghadiri acara yang akan dihadiri oleh seluruh penulis-penulis hebat di FLP se-Indonesia dan juga manca Negara. Saat itu, yang ada dalam pikiran saya, dengan menghadiri acara itu saya akan lebih bisa mengenal luar dalam FLP dan insyaAllah akan semakin optimal ‘melakukan sesuatu’ dalam tubuh FLP. Maka, saya menguatkan tekad untuk ikut, dengan modal tujuh ratus lima puluh ribu rupiah. Proposal yang saya tawarkan ke pemda tidak ada yang lolos.

Dan sebagaimana yang saya bayangkan, bertemu dengan sahabat-sahabat saya di FLP membuat semangat saya bangkit berkali-kali lipat; Helvy Tiana Rosa, pemimpin saya kala itu, yang rela membawakan saya makanan dan juga segelas air minum ketika saya tiba di acara MUNAS, Ganjar Widhiyoga (ketua FLP Yogyakarta kala itu) yang ketika kami berpisah merangkul saya begitu erat yang membuat saya merasakan tentang ketulusan persaudaraan, Hendra Veejay yang mengajak anak desa ini untuk berbagai tentang banyak hal, Pipiet Senja yang dengan teganya bilang ‘Dym…. Kamu itam banget’ (hahahaha….biar hitam tapi kan manis ya teteh :P *ngarep*), Reza (FLP Yogya) yang seperti saudara saya sendiri yang bahkan rela mutar-mutar mencari saya yang kesasar. Hahaha…. Dimana kamu sekarang Reza? Apa kamu masih ingat sms kita ketika aku kesasar di depan UNY?

Aku : Za… aku kesasar nih. Sekarang di depan UNY. Aku mau balik ke rumah kakakku di Terban
(beberapa detik kemudian)
Reza : Tunggu bentar. Biar aku jemput.
Aku :  yang cepat ya Za… aku takut diculik. (hahahaha… emang lo sapa?)
Reza : Kamu pakai baju apa Dym?
Aku : pake baju batman yang ada sayapnya.
Wkwkwkwkwk… usil banget ya! :P

Di acara MUNAS itulah FLP NTB resmi berdiri. FLP Bima sebagai cikal balak FLP NTB diubah namanya menjadi FLP NTB. Kamipun berjuang memperluas jaringan dengan mengadakan berbagai kegiatan kepenulisan, berkeliling sekolah dan kampus di Bima, juga mengundang penulis-penulis lokal dan nasional untuk berbagi ilmu.
Keterbatasan dana dan juga SDM bukanlah menjadi halangan berarti bagi kami. Untuk memotivasi anggota, dengan dana pribadi, kami menerbitkan majalah Cahaya dan juga beberapa buku yang dicetak terbatas  dan –lagi-lagi- dengan dana pribadi dan patungan.

HARI INI
Apakah yang saya dapatkan ketika saya berada di FLP?

Banyak. Ya, saya mendapatkan banyak hal. Mulai dari sahabat-sahabat yang begitu tulus dalam menasehati dalam kebaikan, juga bersama FLP kita bisa saling berbagi banyak hal. Ada beberapa hal memang yang sempat menghadirkan kekecewaan bagi saya pribadi, tapi itu hanya menjadi beberapa tetes hujan yang tak akan mampu menghilangkan asinnya aroma laut yang maha luas. Di FLP saya menemukan para kader dakwah yang mengkampanyekan bukan hanya ‘Indonesia menulis’, tapi sekaligus ‘menyerukan kebenaran lewat sastra’. Tentu saja, sastra sangat berpengaruh dalam membentuk peradaban bangsa. Namun, yang aneh, ada banyak sekali penulis Indonesia dan juga dunia yang kurang memahami hal ini. Maka lahirlah genre “sastra kelamin” dan sejenisnya yang, menurut saya, tidak memberikan apa – apa bagi pembacanya, selain pikiran – pikiran negatif, apalagi kalau dibaca anak – anak dibawah umur. Mengutip Vaclav Havel, Seorang penulis harus hidup dalam kebenaran, selamanya!

Maka, saya hanya bisa tersenyum ketika saya menghadiri acar FLP Bima dalam keadaan basah kuyub karena kehujanan. Sepanjang acara saya mengepalkan tangan saya kuat-kuat untuk menahan gigit.
Saya bahkan hanya bisa tersenyum ketika saya menghadiri sebuah acara dengan motor kesayangan saya selama hamper 12 jam perjalanan, bahkan di tengah jalan dihadang banjir. Saya hanya bisa tersenyum ketika berbagai fitnah dan cobaan menimpa saya, dan FLP-ers selalu ada di belakang saya memberikan dukungan.

“Ingatlah saudara-saudaraku… kesuksesan sebuah acara bukanlah ketika banyak yang hadir atau apa, tapi sejauh mana acara itu mampu merubah kita ke arah yang lebih baik…” Ucap seorang akhwat FLP yang masih saya ingat sampai sekarang. Yang membuat saya meraba hati, kemudian tersenyum bahagia karena begitu banyaknya ilmu yang saya dapatkan.

Ya, bagaimana saya tidak akan tersenyum? Dari berbagai pertemuan sederhana bersama anak-anak FLP itulah, saya melihat Rurin Kuniati yang perlahan-lahan bermetamorfosis menjadi penulis dengan banyak buku antologi; Saya menyaksikan lahirnya Umystha di sebuah pertemuan kecil dengan anak-anak SMAN 2 Kota Bima (Umystha saat ini sudah menerbitkan banyak buku dan novel di beberapa penerbit nasional); juga tak ada yang tau betapa saya tersenyum lebar ketika Dzaky, sahabat saya di FLP Mataram lolos antologi yang disaring dengan ketat dan diterbitkan penerbit nasional; saya juga melihat Abdul Nazer yang sejak SMA menjuarai lomba tingkat nasional; saya juga hanya mampu tersenyum kecil dalam haru yang dalam ketika film pertama yang FLP NTB buat (Lingi) mendapat penghargaan dari Biro Perencanaan dan Kerjasama Luar Negeri Depdiknas Pusat dan satu per satu film-film kami lainnya mendapat banyak penghargaan dan juga dibeli oleh beberapa stasiun Tv hak siarnya.

Ya. Jika bukan karena FLP saya tdk akan pernah mewakili Indonesia dalam ajang sebesar MASTERA (Majelis sastra Asia Tenggara) yang merupakan sebuah ‘langkah besar’ yang melecut saya untuk terus ‘menjadi’.

Sungguh! Tujuh ratus lima puluh ribu rupiah nilainya sangat kecil dibandingkan karunia yang maha ini.

Maka, hari ini, saya hanya ingin bilang; FLP… terimakasih untuk semuanya. Terima kasih telah menjadi sesuatu yang berarti bagi kami.

Kini, usiamu sudah 21 tahun. Teruslah mengibarkan panji ini!

Semoga kita tetap istiqomah menulis untuk mencerahkan dunia. Untuk memberikan inspirasi yang tak terbatas.

Satu per satu
Kita jalin kata
Hingga menjadi
Dan terus menjadi
Semoga sampai pada-Nya… ***


ket :

[1] Jaring-jaring Merah adalah salah satu cerpen terbaik Helvy Tiana Rosa, yang dinobatkan sebagai salah satu dari 10 cerpen terbaik yang dimuat majalah sastra Horison selama 1 deakde (1990-2000)
[2] Mas Gagah adalah salah satu tokoh di buku Ketika Mas Gagah Pergi karya Helvy Tiana Rosa