Senin, 14 Desember 2020

MELAWAN KEKERASAN SEKSUAL BERBASIS GENDER


 

Sering kita dengan kata “Kekerasan”. Menurut Wikipedia, kekerasan  sebuah ekspresi baik yang dilakukan secara fisik ataupun secara verbal yang mencerminkan pada tindakan agresi dan penyerangan pada kebebasan atau martabat seseorang yang dapat dilakukan oleh perorangan atau sekelompok orang,  umumnya berkaitan dengan kewenangannya yakni bila diterjemahkan secara bebas dapat diartinya bahwa semua kewenangan tanpa mengindahkan keabsahan penggunaan atau tindakan kesewenang-wenangan itu dapat pula dimasukan dalam rumusan kekerasan ini.

Namun frasa “Kekerasan Berbasis Gender” (KBG), jarang kita dengar. Untuk menjelaskan hal ini, bainya kita mengkaji pendapat 2 lembaga berikut ini :

Pertama, IASC / Inter-Agency Standing Committee mendefinisikan KBG sebagai ‘Terminologi payung untuk semua tindakan membahayakan yang dilakukan di luar kehendak orang tersebut yang didasarkan atas perbedaan peran laki-laki dan perempuan. Ada beberapa bentuk kekerasan berbasis gender, antara lain : (1) seksual (2) fisik; (3) Praktek tradisional yang membahayakan; (4) sosial ekonomi dan (5) emosional dan psikologis (dalam IPPF, 2009)

Dari definisi di atas, kita melihat bahwa KBG adalah istilah umum untuk banyak jenis kekerasan sebagaimana dijelaskan di atas. Yang menarik dari definisi di atas adalah ia memasukkan praktek tradisional yang membahayakan. Dalam penjelasan dikatakan bahwa praktek ini menyangkut praktek seperti sunat perempuan (female genital mutilation), perkawinan paksa (forced or arranged marriage) dan perkawinan di usia dini (early marriage).

Kedua, UNHCR memberikan definisi KBG sebagai berikut :

GBV adalah kekerasan langsung pada seseorang yang didasarkan atas seks atau gender. Ini termasuk tindakan yang mengakibatkan bahaya atau penderitaan fisik, mental atau seksual, ancaman untuk tindakan tersebut, paksaan dan penghapusan kemerdekaan

Yang menarik dari definisi UNHCR yang berbeda dari definisi IASC adalah tindakan ancaman sudah bisa dikategorikan sebagai tindak kekerasan itu sendiri. Jika definisi IASC bersifat meluas pada praktek sosial dan budaya, definisi UNHCR mendeteksi lebih intensif dari tindakan kekerasan yang dimulai dari upaya ancaman yang sudah masuk sebagai tindak kekerasan.

Yang penting dicatat, bahwa KBG adalah tindakan kekerasan yang berlandaskan pada asumsi gender dan atau seksual tertentu. Jika ada tindak kekerasan yang ketika ditelusuri lebih dalam ternyata memuat niatan atau maksud yang melecehkan korban berdasarkan asumsi gender dan seksual, maka itulah KBG. Jika motiv atau niatannya sama sekali tidak berkaitan dengan gender dan seksual, maka itu kategori kekerasan umum.

 

Lantas, bagaimana upaya untuk meminimalisir, atau bahkan untuk ‘melenyapkan’ KBG ini?!

Saya kebetulan tergabung dalam oraganisasi kemasyarakatan yaitu Remaja Masjid. Saya membawahi Bidang Sosial kemasyarakat. Salah satu hal yang menjadi program kami, selain peningkatan keimanan dan budaya, juga memberikan seminar-seminar tentang bahaya pelecehan seksuaal dan kekerasan dalam bentuk apapun, baik itu verbal maupun non verbal. Karena yang namanya kekerasan pasti sangat berdampak pada korbannya, di antaranya perasaan tidak tenang, ketakutan, rasa sakit dan juga trauma.

Selain itu, di akun Youtube saya; Akhi Dirman TV, saya membuat beberapa video edukasi tentang upaya-upaya pencegahan KBG dalam bentuk film pendek

 


 

Agar kasus kekerasan tak terus menghantui perempuan, ada beberapa kiat yang bisa dilakukan. Beberapa tips berikut ini bisa membantu menghindari dan mencegah KBG.

1. Pahami bentuk kekerasan. Pertama kali yang mesti dilakukan adalah memahami segala bentuk kekerasan yang dapat terjadi. Agar dapat mengetahui batasan-batasan saat berperilaku di tengah masyarakat.

2. Pahami hubungan yang sehat. Sebagian besar kekerasan terhadap perempuan terjadi pada ranah personal/privat. Artinya, pelaku adalah orang yang memiliki hubungan darah, kekerabatan, perkawinan, maupun relasi intim seperti pacar. Hubungan yang sehat merupakan hubungan yang saling menghargai dan menghormati. Memahami bentuk hubungan yang sehat pada keluarga dan kekasih merupakan kunci terhindar dari kekerasan. Jika mulai menunjukkan tanda-tanda yang tidak wajar, tingkatkan kewaspadaan atau segera cari pertolongan.

3. Waspada pada perubahan. Orang terdekat kerap menjadi pelaku kekerasan terhadap perempuan. Oleh karena itu, waspadalah pada perubahan gelagat dan sikap-sikap yang mencurigakan. Jika sedang berada di tempat umum, selalu amati kondisi di sekitar Anda dan tetaplah waspada.

4. Hindari lokasi berbahaya. Menghindari lokasi yang berbahaya seperti tempat yang sepi dan rawan kejahatan juga bisa menurunkan risiko kekerasan pada perempuan. Hindari pula pulang larut malam karena semakin meningkatkan risiko kejahatan.

5. Pribadi yang kuat dan Berani Bicara. Membentuk pribadi yang kuat dan sehat merupakan salah satu cara agar terhindar dari kekerasan. Sebenarnya, langkah berani yang harus dilakukan bersama guna mencegah KBG adalah dengan berani berbicara. Korban harus diedukasi, bahwa untuk menghentikan KBG adalah dengan berbicara, berani melapor. Penyebab utama alasan perempuan korban kbg  tidak melapor yaitu stigma buruk masyarakat akan korban kekerasan seksual. Pelatihan asertif dapat membantu perempuan dan korban kekerasan seksual untuk berani untuk menolak dan menyampaikan apa yang dirasakannya dengan cara yang benar.

 

 

 

Kamis, 15 Februari 2018

750 RIBU RUPIAH, 21 TAHUN KEMUDIAN



“Apa? 750 ribu rupiah kamu BUANG begitu saja?!” Itu suara Bi’ Noniek, adik mama. Kata ‘buang’ ditekan sedemikian rupa seolah aku akan membuang uang itu begitu saja, tanpa sesuatu apapun yang akan aku dapatkan.

“750 ribu itu bukan uang yang sedikit nak….” Mama mencoba melunakkan hatiku.

Yah… aku paham banget apa yang beliau pikirkan. Sebagai seorang penjual makanan ringan kecil-kecilan di kios mungil di depan rumah kami, tentu saja uang tujuh ratus lima puluh ribu rupiah menjadi begitu besar nilainya. Nominal yang hampir sama besarnya dengan gajiku 2 bulan mengajar kursus di sebuah lembaga kursus komputer plus di sebuah sekolah negeri tempatku mengabdi.

Aku mencoba berbicara dari hati ke hati dengan mereka. Meski sangat sulit. Tentang pengorbanan. Tentang keinginan membangun jaringan kepenulisan. Tentang perjuangan. Dan Alhamdulillah, meskipun dengan berat hati, ibu saya akhirnya mengijinkan saya untuk menghadiri Musyawarah Nasional FLP di Yogyakarta, dengan modal tujuh ratus lima puluh ribu rupiah, gaji saya beberapa bulan yang saya tabung.


SEBUAH AWAL
Saya adalah orang yang cinta menulis dan membaca. Sejak kecil, waktu saya SD, majalah bobo dan beberapa buku terbitan Balai Pustaka yang menghiasi perpustakaan sekolah ataupun yang dipinjam kakak-kakak saya yang saat duduk di bangku SMP dan SMA. Maka, saat kecil, saya sudah terbiasa membaca “Olenka”-nya Budi Dharma, “Dan Perangpun Usai”-Ismail Muharimin, juga kumpulan puisi Taufik Ismail, Chairil Anwar, Subagio Sastro Wardoyo dan beberapa penulis pujangga baru lainnya.

Imajinasi sayapun terbentuk dengan baik, karena kakak-kakak saya sering mendonggeng setiap malam, ketika kami hendak istirahat.

Karena itulah, mungkin, saya menjadi aktor kecil. Guru Bahasa Indonesia saya kala itu, Ibu Nurmi, yang kebetulan adalah seorang pelakon teater, sering mengajak saya untuk bermain teater, atau ikut lomba membaca puisi. Berkat kesabaran beliau, Alhamdulillah saat itu beberapa puisi saya dimuat di majalah Bobo.

Namun sesungguhnya, titik balik saya untuk mencintai mati-matian dunia kepenulisan adalah ketika saya mengenal Annida dan Helvy Tiana Rosa ketika saya duduk di bangku SMA. Saya pertama kali ‘bertemu’ Helvy Tiana Rosa di majalah sastra Horison. Membaca “Jaring-jaring Merah”[1] membuat saya jatuh cinta habis-habisan dengan sastra islam. Maka saya berusaha mati-matian mencari majalah Annida dimana saat itu beliau menjadi Pemred. Alhamdulillah, saya menemukannya di sebuah toko kecil di kota saya. Di toko itulah saya bertemu dengan banyak keajaiban; perempuan penjaga toko yang begitu baik meminjamkan saya beberapa buku sekaligus mengajarkan saya tentang makna hidup, juga mas Gagah[2]. Ya, mas Gagah yang membuat saya bertanya pada diri sendiri; Dirman… untuk apa sebenarnya kau diciptakan?

Entahlah. Saya membuka beberapa cerpen remaja saya yang dimuat di beberapa media kala itu. Juga saya tempel dengan pede di majalah dinding sekolah yang saya rintis. Entah. Tiba-tiba saya malu. Tiba-tiba mata saya begitu memanas. Tiba-tiba saya merasa begitu tak berarti.

Maka, saat itu juga, saya mengirim aplikasi ke majalah Annida. Mendaftar untuk menjadi anggota Forum Lingkar Pena. Sebuah forum kepenulisan yang dirintis oleh Helvy Tiana Rosa, Asma Nadia dan Maimon Herawati.  Sampai akhirnya, saya mendapatkan sebuah kartu anggota Forum Lingkar Pena. Namun, karena tidak adanya jaringan di Bima (saat itu
FLP di NTB belum ada yang aktif, bahkan saya tidak tau siapa ketuanya), kartu itu saya simpan begitu saja di dompet saya. Dan lama-lama, hilang entah kemana. FLP saya lupakan. Meskipun tangan saya tak pernah berhenti menulis.

BANGKIT
Awal 2006, secara tak terduga, beberapa puisi saya dimuat di majalah sastra Horison. Tentu saja ini kabar yang luar biasa bagi ‘anak desa’ seperti saya. Bayangkan, saya berjuang mati-matian mengirim karya ke banyak majalah dengan modal mesin ketik tua milik paman saya. Saya membantu beliau mengetik banyak laporan kehutanan (kebetulan beliau kepala kehutanan kecamatan). Dan ketika laporannya selesai saya ketik, saya mengetik beberapa cerpen dan puisi saya yang kemudian saya kirim ke beberapa majalah.

Di tahun yang sama, saya mendapat beberapa kabar yang membuat saya melambung; beberapa cerpen saya juga dimuat di majalah Annida, sabilli, Deep Smile File, Al-Izzah bahkan kumpulan cerpen yang saya tulis semasa SMA, “Negeri Air Mata” lolos terbit di sebuah penerbit setelah ‘sukses’ ditolak hampir 10 penerbit. Alhamdulillah…. Lebih bersyukur lagi karena pada akhirnya buku itu menjadi buku bacaan wajib siswa-siswa di NTB dan dicetak ulang beberapa kali.
Pada saat itu juga, saya mulai mengenal internet. Saya menggunakan internet untuk mengirim karya via email dan juga browsing untuk bahan cerpen-cerpen saya yang bertema lokal. Mahal memang, 20.000/jam, itupun saya harus ke kota dengan jarak 1 jam perjalanan dari rumah saya.  Mengenal internet, membuat semangat saya yang pernah mati ‘kambuh’ lagi.

Forum Lingkar pena. Ya! Saat itu, FLP sedang masa jaya-jayanya. Saya mencoba mencari di internet informasi tentang FLP di NTB. Nihil. Tak ada ‘jejak’ apa-apa yang saya temukan. Dan entah bagaimana, timbul keinginan saya untuk membangun jaringan di NTB. Saya mencari nomor kontak yang bisa saya hubungi. Dan Alhamdulillah, berkat kecanggihan tekhnologi, saya menemukan nomor telepon rumah Helvy Tiana Rosa dan juga Rahmadiyanti Rusdi. Maka, terutama dengan mbak Helvy, saya sering berkomunikasi. Dan… ya Allah… saya berjanji pada diri sendiri untuk membangun FLP di kota kecil saya, Bima.

Langkah pertama yang saya lakukan adalah mengumpulkan beberapa teman saya yang suka menulis; Guntur, Dudy, Fitri, Furkan, Kak Iksan, Imam dan Nazer. Kami berdepalan sepakat membentuk FLP Bima. Sebagai langkah awal, kami menyebar ke beberapa SMA untuk menempel pamflet yang saya buat dan juga  mengadakan berbagai acara bedah buku dan sejenisnya bekerja sama dengan organisasi kemasyarakatan lokal.

Pada saat itulah, mbak Helvy meng-sms saya tentang Musyawarah Nasional FLP. Dan, mbak Rahmadiyanti-pun mengirimi saya proposal yang bisa saya ajukan ke Pemda sebagai utusan Bima untuk menghadiri acara yang akan dihadiri oleh seluruh penulis-penulis hebat di FLP se-Indonesia dan juga manca Negara. Saat itu, yang ada dalam pikiran saya, dengan menghadiri acara itu saya akan lebih bisa mengenal luar dalam FLP dan insyaAllah akan semakin optimal ‘melakukan sesuatu’ dalam tubuh FLP. Maka, saya menguatkan tekad untuk ikut, dengan modal tujuh ratus lima puluh ribu rupiah. Proposal yang saya tawarkan ke pemda tidak ada yang lolos.

Dan sebagaimana yang saya bayangkan, bertemu dengan sahabat-sahabat saya di FLP membuat semangat saya bangkit berkali-kali lipat; Helvy Tiana Rosa, pemimpin saya kala itu, yang rela membawakan saya makanan dan juga segelas air minum ketika saya tiba di acara MUNAS, Ganjar Widhiyoga (ketua FLP Yogyakarta kala itu) yang ketika kami berpisah merangkul saya begitu erat yang membuat saya merasakan tentang ketulusan persaudaraan, Hendra Veejay yang mengajak anak desa ini untuk berbagai tentang banyak hal, Pipiet Senja yang dengan teganya bilang ‘Dym…. Kamu itam banget’ (hahahaha….biar hitam tapi kan manis ya teteh :P *ngarep*), Reza (FLP Yogya) yang seperti saudara saya sendiri yang bahkan rela mutar-mutar mencari saya yang kesasar. Hahaha…. Dimana kamu sekarang Reza? Apa kamu masih ingat sms kita ketika aku kesasar di depan UNY?

Aku : Za… aku kesasar nih. Sekarang di depan UNY. Aku mau balik ke rumah kakakku di Terban
(beberapa detik kemudian)
Reza : Tunggu bentar. Biar aku jemput.
Aku :  yang cepat ya Za… aku takut diculik. (hahahaha… emang lo sapa?)
Reza : Kamu pakai baju apa Dym?
Aku : pake baju batman yang ada sayapnya.
Wkwkwkwkwk… usil banget ya! :P

Di acara MUNAS itulah FLP NTB resmi berdiri. FLP Bima sebagai cikal balak FLP NTB diubah namanya menjadi FLP NTB. Kamipun berjuang memperluas jaringan dengan mengadakan berbagai kegiatan kepenulisan, berkeliling sekolah dan kampus di Bima, juga mengundang penulis-penulis lokal dan nasional untuk berbagi ilmu.
Keterbatasan dana dan juga SDM bukanlah menjadi halangan berarti bagi kami. Untuk memotivasi anggota, dengan dana pribadi, kami menerbitkan majalah Cahaya dan juga beberapa buku yang dicetak terbatas  dan –lagi-lagi- dengan dana pribadi dan patungan.

HARI INI
Apakah yang saya dapatkan ketika saya berada di FLP?

Banyak. Ya, saya mendapatkan banyak hal. Mulai dari sahabat-sahabat yang begitu tulus dalam menasehati dalam kebaikan, juga bersama FLP kita bisa saling berbagi banyak hal. Ada beberapa hal memang yang sempat menghadirkan kekecewaan bagi saya pribadi, tapi itu hanya menjadi beberapa tetes hujan yang tak akan mampu menghilangkan asinnya aroma laut yang maha luas. Di FLP saya menemukan para kader dakwah yang mengkampanyekan bukan hanya ‘Indonesia menulis’, tapi sekaligus ‘menyerukan kebenaran lewat sastra’. Tentu saja, sastra sangat berpengaruh dalam membentuk peradaban bangsa. Namun, yang aneh, ada banyak sekali penulis Indonesia dan juga dunia yang kurang memahami hal ini. Maka lahirlah genre “sastra kelamin” dan sejenisnya yang, menurut saya, tidak memberikan apa – apa bagi pembacanya, selain pikiran – pikiran negatif, apalagi kalau dibaca anak – anak dibawah umur. Mengutip Vaclav Havel, Seorang penulis harus hidup dalam kebenaran, selamanya!

Maka, saya hanya bisa tersenyum ketika saya menghadiri acar FLP Bima dalam keadaan basah kuyub karena kehujanan. Sepanjang acara saya mengepalkan tangan saya kuat-kuat untuk menahan gigit.
Saya bahkan hanya bisa tersenyum ketika saya menghadiri sebuah acara dengan motor kesayangan saya selama hamper 12 jam perjalanan, bahkan di tengah jalan dihadang banjir. Saya hanya bisa tersenyum ketika berbagai fitnah dan cobaan menimpa saya, dan FLP-ers selalu ada di belakang saya memberikan dukungan.

“Ingatlah saudara-saudaraku… kesuksesan sebuah acara bukanlah ketika banyak yang hadir atau apa, tapi sejauh mana acara itu mampu merubah kita ke arah yang lebih baik…” Ucap seorang akhwat FLP yang masih saya ingat sampai sekarang. Yang membuat saya meraba hati, kemudian tersenyum bahagia karena begitu banyaknya ilmu yang saya dapatkan.

Ya, bagaimana saya tidak akan tersenyum? Dari berbagai pertemuan sederhana bersama anak-anak FLP itulah, saya melihat Rurin Kuniati yang perlahan-lahan bermetamorfosis menjadi penulis dengan banyak buku antologi; Saya menyaksikan lahirnya Umystha di sebuah pertemuan kecil dengan anak-anak SMAN 2 Kota Bima (Umystha saat ini sudah menerbitkan banyak buku dan novel di beberapa penerbit nasional); juga tak ada yang tau betapa saya tersenyum lebar ketika Dzaky, sahabat saya di FLP Mataram lolos antologi yang disaring dengan ketat dan diterbitkan penerbit nasional; saya juga melihat Abdul Nazer yang sejak SMA menjuarai lomba tingkat nasional; saya juga hanya mampu tersenyum kecil dalam haru yang dalam ketika film pertama yang FLP NTB buat (Lingi) mendapat penghargaan dari Biro Perencanaan dan Kerjasama Luar Negeri Depdiknas Pusat dan satu per satu film-film kami lainnya mendapat banyak penghargaan dan juga dibeli oleh beberapa stasiun Tv hak siarnya.

Ya. Jika bukan karena FLP saya tdk akan pernah mewakili Indonesia dalam ajang sebesar MASTERA (Majelis sastra Asia Tenggara) yang merupakan sebuah ‘langkah besar’ yang melecut saya untuk terus ‘menjadi’.

Sungguh! Tujuh ratus lima puluh ribu rupiah nilainya sangat kecil dibandingkan karunia yang maha ini.

Maka, hari ini, saya hanya ingin bilang; FLP… terimakasih untuk semuanya. Terima kasih telah menjadi sesuatu yang berarti bagi kami.

Kini, usiamu sudah 21 tahun. Teruslah mengibarkan panji ini!

Semoga kita tetap istiqomah menulis untuk mencerahkan dunia. Untuk memberikan inspirasi yang tak terbatas.

Satu per satu
Kita jalin kata
Hingga menjadi
Dan terus menjadi
Semoga sampai pada-Nya… ***


ket :

[1] Jaring-jaring Merah adalah salah satu cerpen terbaik Helvy Tiana Rosa, yang dinobatkan sebagai salah satu dari 10 cerpen terbaik yang dimuat majalah sastra Horison selama 1 deakde (1990-2000)
[2] Mas Gagah adalah salah satu tokoh di buku Ketika Mas Gagah Pergi karya Helvy Tiana Rosa

Kamis, 15 Desember 2016

GERAKAN NASIONAL NON TUNAI (GNNT) : SOLUSI BERTRANSAKSI DI JAMAN MODERN

Pernah tidak ketika sedang menikmati makanan di restoran tiba-tiba sadar bahwa lupa membawa dompet? Atau membeli barang-barang yang kita inginkan tanpa terhalang jarak dan waktu? Atau mungkin juga kamu termasuk tipe orang yang kesal menunggu kembalian, karena tidak ada uang pas ketika bertransaksi di toko atau supermarket?

GNNT menjadi jawaban untuk itu semua!

Apakah GNNT? 

Bank Indonesia sebagai Bank Sentral Republik Indonesia memiliki tujuan mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Untuk mencapai tujuan tersebut, Bank Indonesia memiliki  tugas  di  bidang  moneter,  Sistem  Pembayaran  (SP),  dan  Stabilitas  Sistem Keuangan (SSK). Sebagaimana diketahui bahwa pelaksanaan kebijakan moneter membutuhkan dukungan Sistem Pembayaran yang handal. Untuk mewujudkan suatu sistem pembayaran yang handal dibutuhkan suatu sistem keuangan yang stabil. Sistem keuangan yang stabil tersebut tidak terlepas dari efektivitas dari kebijakan moneter.

Secara sederhana, sistem pembayaran dibagi menjadi sistem pembayaran tunai dan sistem pembayaran non  tunai. Sistem Pembayaran tunai merupakan sistem pembayaran yang menggunakan uang kartal sebagai alat pembayaran, sedangkan sistem pembayaran non tunai mengacu pada sistem pembayaran yang tidak menggunakan uang kartal sebagai alat pembayaran.

Bank Indonesia sebagai bank sentral, sangat mendorong peningkatan penggunaan transaksi non tunai menuju terciptanya  LCS  (Less Cash Society).  Dengan  berkurangnya penggunaan uang tunai maka negara dapat menurunkan jumlah pencetakan uang tunai yang berarti penurunan anggaran pencetakan uang. Selain itu, dengan makin berkurangnya penggunaan uang tunai yang beredar, biaya penyimpanan dan penyortiran uang di perbankan juga akan menurun drastis. Penurunan penggunaan uang tunai akan berimbas pada penurunan jumlah uang palsu yang beredar.


Sebagai langkah konkret untuk mendorong peningkatan transaksi non tunai, Bank Indonesia telah meluncurkan GNNT. GNNT adalah kepanjangan dari Gerakan Nasional Non Tunai. Gerakan ini mulai digulirkan sejak 2014, tepatnya pada 14 Agustus 2014, oleh Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus DW Martowardojo. Gerakan ini didukung banyak pihak, mulai dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Keuangan , pemerintah daerah dan asosiasi pemerintah provisi seluruh Indonesia.

GNNT menjadi sebuah solusi untuk banyak masalah dalam bertransaksi. Banyak hal positif yang didapat masyarakat dari penggunaan uang nontunai. Selain praktis, transaksi dengan nontunai juga lebih aman karena kita tidak membawa uang secara fisik yang dalam jumlah besar akan merepotkan sehingga efisien.
Untuk mendukung peningkatan transaksi non tunai, Bank Indonesia  telah mengeluarkan Peraturan  Bank  Indonesia  (PBI)  No.  14/2/PBI/2012  tentang  perubahan  atas  PBI  No. 11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu. Tidak hanya mengeluarkan rujukan penyelenggaraan pembayaran non tunai dengan menggunakan kartu, BI juga turut memperhatikan aspek pengguna jasa sistem pembayaran non tunai. Oleh sebab itu, Bank Indonesia   menerbitkan PBI No. 16/1/PBI/2014 tentang Perlindungan Konsumen Jasa Sistem Pembayaran sebagai panduan aspek perlindungan konsumen serta PBI No. 16/8/PBI/2014 tentang perubahan atas PBI No. 11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik (Electronic Money).

Kendala dan Solusi
Setelah digulirkannya program GNNT, penggunaan transaksi non tunai relatif meningkat. Hanya saja, tidak bisa dipungkiri, transaksi tunai dengan menggunakan uang kartal masih menjadi idola masyarakat. Diantaranya dipengaruhi oleh tidak meratanya teknologi (jaringan internet) di seluruh wilayah indonesia, karena transaksi non tunai menggunakan internet sebagai media penghubung. Namun, hal ini bisa teratasi dengan semakin maraknya penggunaan handphone. Seperti yang kita ketahui, hampir sebagaian besar orang menggunakan handphone sebagai alat komunikasi. Dan sebagaian besar handphone memiliki fitur untuk mengakses internet.

Menjawab hal ini, selain uang elektronik berbentu kartu, Bank Indonesia meluncurkan uang elektronik berbasis handphone. Dengan kemudahan bertransaksi hanya dengan menggunakan handphone. Hal ini cocok untuk remaja yang ingin praktis dan aman dalam bertransaksi, karena sudah ada beberapa café, rumah makan, kantin dan lain sebagainya yang menerima pembayaran dengan sistem non tunai.

Jadi, ketika sedang menikmati makanan di restoran tiba-tiba sadar bahwa lupa membawa dompet, kamu tinggal menghubungi keluarga atau sahabat untuk men-top up (menambah saldo) uang elektronikmu. Atau ketika kamu ingin membeli barang-barang yang kita inginkan di penjualan online? Gampang! Tinggal transfer saja dan menunggu barangnya sampai di depan rumah kita. Atau mungkin juga kamu termasuk tipe orang yang kesal menunggu kembalian, karena tidak ada uang pas ketika bertransaksi di toko atau supermarket? Hal itu tak akan terjadi lagi dengan penggunaan uang non tunai.

Dengan banyaknya kelebihan penggunaan transaksi non tunai; aman, cepat dan praktis, Gerakan Nasional Non tunai menjadi sebuah solusi untuk bertransaksi di jaman moderen. Jadi bagaimana? Kamu siap untuk bertransaksi secara non tunai?!

Kamis, 12 Maret 2015

VIDEO PUISI 2 ABAD TAMBORA MENYAPA DUNIA



Sebagai bentuk apresiasi dan dukungan terhadap event “2 Abad Tambora Menyapa Dunia”, diproduksi oleh Umahaju Produktion dan Majelis Kesenian Mbojo, saya memproduksi sebuah puisi saya yang beberapa waktu yang lalu dipublikasi di Kampung Media yang saya beri judul “Tambora Menyapa Dunia”

Puisi ini dibacakan oleh Machdin, Mahasiswa STKIP Bima jurusan Ekonomi Semeter 6. Machdin yang pernah menjadi Sampela Kota Bima tahun 2012 ini mengaku sejak SD sudah sering mengikuti lomba membaca puisi. 


FLP NTB JUARA 2 LOMBA VIDIO KREATIF MILAD FLP KE 18



Forum Lingkar Pena (FLP) berdiri pada tanggal 22 Februari 1997. FLP memiliki visi menjadi sebuah organisasi yang memberikan pencerahan melalui tulisan. FLP bergerak disegala bidang yang berhubungan dengan kepenulisan dan pemberdayaan penulis. FLP memiliki fungsi: pembinaan, pembentukan jaringan, dan advokasi.

FLP telah tersebar di 34 wilayah  tanah air dan lebih dari 100 cabang. Selain itu, FLP telah mengembangkan sayap di beberapa Negara dengan mendirikan wilayah Luar negeri; di antaranya di Malaysia, Hongkong, Belanda, Mesir, Jepang dll.