Minggu, 22 Agustus 2010

BUNDA, SERIBU CINTA YANG TERUS MENGALIR


CATATAN WAKTU SD

Malam telah jauh bertahta
Namun mengapa tangan keriputmu
Masih tegar menadah embun
Diantara daun yang terpekur?
Sepipun meruncing,
"Tak sebutir embun pun kudapatkan," katamu.
Bersenandung bersama malam
Getir.

Tak kuasa kulawan airmataku, Bunda
Ketika engkau menangis dalam do'amu
"Tuhan...
Berikan hamba sebutir embun esok hari
Tuk pelepas dahaga anakku."


Itu adalah salah satu puisiku yang kutulis khusus untuk bundaku. Seorang wanita yang setiap subuh harus bangun untuk memulai harinya dengan menjual daging ke pasar. Aku sangat menyayanginya. Dalam keadaan sakit sekalipun, ia tetap akan berjualan.

Suatu hari, ketika aku ke pasar untuk meminta uang jajan padanya, aku dikejutnya oleh banyaknya orang yang berteriak panik di pasar tempat bundaku berjualan. Aku berteriak histeris ketika mendapati seorang perempuan yang pingsan di sana.

“Ambilkan air gula...!!!”

Aku mendengar orang – orang berteriak panik. Akupun panik setengah mati. Wanita itu... wanita yang pingsan itu bundaku. Aku sangat menyayanginya. Ketika subuh masih begitu belia, ia telah ada di pasar ini untuk kami.

“Bunda...”

Aku gigit bibirku agar aku tak menangis. Bagaimanapun aku seorang lelaki, lelaki kecil. Aku tak ingin menangis di tengah umum seperti ini.

“Bunda....”

Akhirnya, bunda dibawa ke rumah. Aku tak kuasa menahan duka melihat wajahnya yang damai terbaring di atas ranjang.

“Bunda...”

Perlahan, matanya terbuka. Ia menatap wajahku seolah hendak berkata; bunda tidak apa-apa, nak...

Sejak itu, aku berikrar dalam hatiku untuk selalu membahagiakannya. Jika aku sudah besar nanti, Bunda... aku akan menjadi anak yang akan selalu kau banggakan... aku berjanji, Bunda...

***
CATATAN SMP

Aku hanyalah anak kecil. Umurku baru dua belas tahun dan tak mengerti bagaimana susahnya orang tua mencari uang untukku. Mungkin aku adalah anak kecil yang durhaka seperti Maling Kundang.

Tapi aku tak perduli. Dan aku tak pernah menyesali itu.


Hari ini, aku dipulangkan karena BP3 ku nunggak beberapa bulan. Sebentar lagi ulangan akan digelar.

Tahu rasanya dipulangkan seperti itu?

Aku malu. Mukaku memerah dan hampir menangis.

Sepanjang perjalanan pulang, kutundukkan kepalaku. Seandainya tas ku kubawa tadi, sudah pasti aku tak akan menunjukkan diri di sekolah. Biarlah bolos. Aku tak sanggup menanggung malu.

Rasanya, mataku mulai memanas. Aku terbayang bunda yang berkerja mati-matian untuk menyekolahkan kami. Kadang, ia pingsan di pasar ikan ketika menjual daging untuk menyambung hidup kami. Pernah aku berpikir untuk berhenti sekolah saja, tapi dengan matanya, bunda selalu memberiku semangat baja agar aku bisa terus menatap masa depan.

Sesampai di rumah, Bunda sedang duduk di kursi ruang tamu. Menjahit pakaian seragam Gun, adikku, yang robek.

Ia terlihat heran melihat kedatanganku. Tapi, dari matanya, kasih tetap mengalir bening seolah mata air dari syurga.

Ya. Sebab itulah aku mencintainya, seperti aku mencintai syurga.

 Aku bersimpuh di kakinya, kemudian menangis tersedu – sedu.

“Kenapa?!”

“Saya dipulangkan, Bunda.”

Ia mencari jawaban di mataku.

“BP3, Bunda. Sebentar lagi ulangan. Kami harus melunasi tunggakan, atau tidak akan diijinkan untuk mengikuti ulangan catur wulan.”

Aku melihat matanya yang risau.

“Tolong, Bunda... aku malu pada teman – teman...”

Bola matanya berkejaran ke mana – mana. Aku melihat ada air yang siap menggalir. Mataku telah basah dari tadi.

Jangan menangis, Bunda... aku tak sanggup!

“Bunda.... belum punya uang...”

Mataku semakin memanas. Terbayang guru BP yang galak, Fadli dan teman – temanku yang lain. Hanya beberapa anak yang dipulangkan tadi. Rata-rata, mereka berpakaian lusuh sepertiku. Seolah mengisyaratkan, bahwa orang miskin seperti kami tak pantas sekolah, apalagi di sekolah favorit. ES EM PE negeri satu – satunya di kota kami.

Beginilah akibatnya, jika orang miskin ngeyel sekolah. Dipulangkan dan dipermalukan di depan kelas, karena tak sanggup membayar iuran sekolah. Kadang, disuruh membersihkan WC sebagai hukuman.

“Maafkan Bunda, nak…”

Dan tahukah anda? Keesokan harinya, entah dari mana datangnya, ia menyodorkan uang itu padaku. Yang aku terima dengan mata berkaca – kaca. Aku kehabisan kata tiap berada di depan perempuan itu. Aku sangat tahu, bunda berjuang untuk mencari utangan, entah dari siapa.

***

Setelah aku dewasa. Bunda tak lagi berjualan daging. Kami bangkrut habis – habisan, karena semakin banyak daging jualannya diutang oleh langganannya yang kebanyakan adalah penjual bakso. Dan, setelah utangnya semakin menumpuk, langganan bundaku itu menghilang entah kemana. Kini bunda hanya menjual makanan ringan seperti Gerry Chocolatos, Mie, juga sembako  di warung sederhana di halaman rumah kami. Sebenarnya, aku ingin Bunda istirahat saja menikmati masa tuanya. Tapi sepertinya Bunda bahagia menjalani rutinitas barunya, dan kami tak punya pilihan lain selain membiarkannya. Dan seperti biasa, Bunda memberikan utang juga kepada langganan warungnya. Seperti tak jera. Sehingga berkali-kali kami menambahkan modal untuknya. Ah... Ibu....

“Bunda juga yang salah, kenapa diutangin? Mana kita tahu kejujuran mereka?!” tanyaku suatu waktu.

Namun, bunda tak jua jera. Tetap saja semakin banyak langganannya yang berutang. Aku sungguh tidak mengerti cara bundaku berjualan.

“Kasihan nak… ada istri dan anak mereka yang harus mereka nafkahi. Kalaupun mereka tak jujur, Allah nggak mungkin buta!”

Anda tahu, kata – kata itu diucapkan oleh seorang wanita tua yang sama sekali tak pernah menyentuh sekolahan, dan dia BUNDAKU!

Kini, bundaku begitu sering sakit – sakitan. Kakinya seolah tak bersahabat. Barangkali kram. Ia sering tersungkur di jalan yang tak berbatu sekalipun.

Suatu hari, ia terjatuh di kamar mandi. Kupangku dia dan berkali – kali kuteriakkan namanya. Ia diam saja dan tak sadarkan diri. Setelah para tetangga kami datang, tak ada yang tahu, diam – diam aku menangis di kamarku.


“Jodoh itu ada di tangan Allah. Berusahalah…” ujarnya selalu, memotifasiku untuk mencari pendampingku.


Itulah dia. Yang dalam sesakit apapun senyumnya tak jua hilang. Yang dalam keadaan yang bagaimanapun selalu mencari sesuap nasi untuk delapan orang anaknya.

Dan… tahukah anda? Delapan orang anaknya, disekolahkannya tinggi – tinggi. Seolah – olah, ia sangat yakin bahwa sekolah adalah salah satu jalan untuk keluar dari kukungan kemiskinan.


Dan delapan anak itu telah meraih bintangnya masing – masing! Karena cinta dan keringatnya.


Mbak Tien, kakak pertamaku, telah menikah dengan Mas Kelik, wong Jogja yang jatuh cinta habis – habisan padanya; Mbak Ratna  dan Kak Nadi, kini menjadi pegawai negeri di Kota Bima ; Selanjutnya aku, Dirman, yang lebih memilih untuk menulis sambil mengabdikan diri di sebuah SMA; Guntur yang telah menjadi pegawai rumah sakit; sementara yang lainnya masih melanjutkan sekolah.


Di sepanjang jalan berliku
kuketuk pintu langit dengan segenap do'a
Ya Allah... cintailah dia yang mencintaiku dengan sepenuh do'a
Cintailah dia yang mengajarkan kesejatian cinta yang tak terbatas
Cintailah dia...
Cintailah dia...

: BUNDA.... Seribu cintaku yang tak berhenti mengalirkan kasih....
Bagaimana harus kulukis cinta ini?! ***

Seribu cinta untuk bunda; i love you...

http://unguband.com/1000kisahtentangibu1.html

“Lomba Blog 1000 Kisah Tentang Ibu Presembahan Ungu & Chocolatos”

25 komentar:

Naqiyyah Syam mengatakan...

Keren banget sih, huhuhu.......terharu T_T

Akhi Dirman Al-Amin mengatakan...

@ Naqiyyah : Makasih bgt mbak :)

Kiky . . . mengatakan...

mantaaaap... ^^
sedih deh jadinya.. :(

chayoo..!! moga menank iaah.. ^o^ V

Unknown mengatakan...

salam kenal dr Palembang, kisahnya sangat menyentuh

Akhi Dirman Al-Amin mengatakan...

@ Rizky : Makasih banyak apresiasinya ya....

Akhi Dirman Al-Amin mengatakan...

@ M. Chandra Panjinata : Salam kenal juga mas. Makasih banyak sudah berkunjung

Evi Andriani mengatakan...

Subhanallah, bagus banget kisah yang dituliskan ini akhi Dirman. Rasanya pengen nangis. Semoga evi bisa belajar menulis sebagus tulisan akhi Dirman.
salam santun dari medan
~Evi A.~

Akhi Dirman Al-Amin mengatakan...

Evi : Makasih banyak. Semangat menulis ya...
Semoga menginspirasi

Ida Raihan mengatakan...

Kok Mbak Naqiyyah bilang ada suaranya? Tapi Ida gak denger tu? Hikz...


Wassalam
Ida Raihan

Akhi Dirman Al-Amin mengatakan...

Ida : Ada kok :)
Mungkin koneksimu error :)

anak pak basri mengatakan...

:'(
huaaa,sedih kalipun., sampe netes airmata ni..
saluut mas..
jagain bundanya terus..
:')
Allah emang gak buta, seperti kata bundanya mas.. :')

Akhi Dirman Al-Amin mengatakan...

makasih mbak...
insyaAllah selalu...

N'da Firmansyah mengatakan...

huhuhu... haru biru sangat akhi... n sangat menyentuh. bagus banget deh khi!!! menang....3x yak Amin... :-)

Akhi Dirman Al-Amin mengatakan...

N'da
makasih banyak ya...
Allahumma Amin...

Muhammad Rasyid Ridho mengatakan...

Terharu BangZeettt... Bang.. Eh Pak Guru.. Tanpanya kita mungkin tak ada..

Akhi Dirman Al-Amin mengatakan...

Rasyid
thanks dah berkenan mampir dek
panggil pak guru sekali lg tak jewer ntar. ahahahahahayyyy....

Naqiyyah Syam mengatakan...

iya akhi,sekarang nggak kedengaran suaranya lagi lho:)

Akhi Dirman Al-Amin mengatakan...

Naqiyyah : ada kok mbak :)

Unknown mengatakan...

Kapan2 kalo k'Jogja mampir Kak...

Mieny juga Jogja deket gak ya ma Kakaknya Kak Dirman

Akhi Dirman Al-Amin mengatakan...

Mieny :
kakakku di Terban - Gondokusumo :)
semua saudara sih saat ini liburan ke Yogya :)

Prima Citra Devi mengatakan...

Terharu hiks..hiks...abis baca langsung terinspirasi bikin cerita :)

Akhi Dirman Al-Amin mengatakan...

Mbak Devi :
alhamdulillah...
smangat berbagi yuk...

Ummi Ubay mengatakan...

assalamualaikum
jadi terharu^^
chika jalan2 ke sesama peserta lomba ^^

Akhi Dirman Al-Amin mengatakan...

Chikarei :
makasih sudah berkunjung ya...

Anonim mengatakan...

Masyaalloh, Bagus sekali tulisannya kak.. Terharuuu... Makasih udh berbagi blogspot ke ana.. :)