Jumat, 11 Juni 2010

Sebab Cinta Tak Harus Berkata (My Novel)


DIRMAN MELUKIS CINTA
Oleh : Emzy Azzam
(Penulis adalah PSDM FLP NTB, cerpenis)


Judul : Sebab Cinta Tak Harus Berkata
Genre : Novel literatur
Penulis : Akhi Dirman Al-Amin
Penerbit : Genta Press, Yogyakarta, 2008
Tebal : 140 Halaman, 12 x 19 cm
Harga : 23.000

Apa yang akan pembaca bayangkan dari cerita Wadu Ntanda Rahi? Saya yakin jawaban anda tidak akan jauh dari kesetiaan cinta yang begitu mengagumkan dari seorang istri. Cinta dan kesetiaan Nggini yang begitu besar pada Nggusu benar – benar teraktualisasi secara nyata sampai – sampai dia rela menjadi batu untuk menunggu Nggusu yang merantau ke Gowa. Kesetiaan yang sama akan anda dapatkan dari La Hawa dalam novel Sebab Cinta Tak Harus Berkata karya Akhi Dirman Al – Amin. Penulis yang lahir dan besar di Bima dengan jam terbang cukup tinggi ini, benar – benar menuangkan segala hal yang ditangkap oleh mata dan hatinya tentang Bima dalam novel ini. Kalau anda penikmat novel Ayat – Ayat Cinta dan menemukan Mesir yang sebenarnya dalam novel itu. Bukan merupakan hal yang aneh karena memang penulisnya pernah begitu akrab dengan Mesir. Begitu juga dengan novel ini anda akan benar – benar melihat Bima tempo doeloe di dalam lembar demi lembarnya. Wanita – wanita Bima dengan rimpu mpida-nya, gadis – gadis yang ‘hidup’ di jompa untuk melindunginya dari kenakalan mata pria, sore yang tiada pernah lepas dari suara – suara mengaji anak – anak di surau dan masjid.

Apa yang akan anda dapatkan dari membaca novel setebal 140 halaman ini? Selain penggambaran Bima yang begitu nyata, jalinan kisah yang begitu indah dan mengharukan, ini merupakan salah satu kelebihan Akhi Dirman dalam tiap novel dan cerpennya yang juga diakui oleh beberapa pengarang ternama seperti Ahmad Tohari, Helvy Tiana Rosa dan Pipiet Senja, benar – benar akan menghanyutkan kita ketika akan merasakan kepedihan hati La Hawa yang demi cintanya kepada La Hami diusir oleh Ama-nya. Seolah belum cukup Hawa masih harus dengan rela melepaskan La Hami suaminya untuk merantau ke Gowa demi masa depan anak yang sedang dikandungnya. Benar – benar berat penderitaan La Hawa sampai anaknya lahir dan menginjak usia remaja sekalipun dia tidak pernah merasakan kehangatan keluarga yang lengkap karena La Hami tidak pernah pulang setelah itu. Pun ketika demi memenuhi harapan anaknya melihat wajah laki – laki yang menitiskan darah dalam tubuhnya, dia harus merelakan anaknya ke Gowa untuk hal itu. Yang untuk itu pula Hawa harus membayar mahal karena sekali lagi untuk kesekian kalinya dia harus mengalami kehilangan orang yang begitu berarti dalam hidupnya. Keharuan demikian kuat mengalir dalam novel ini.

Dan yang paling mengagumkan dari semua itu adalah seluruh jalinan cerita dibingkai dengan indah lewat tutur yang begitu puitis. Keindahan kata – kata dan jalinan cerita yang mengalir begitu lancar menjadi daya tarik yang begitu memikat dari novel ini, khas Dirman. Anda tidak hanya akan terpana dengan alur kisah yang demikian menyentuh, tapi juga lewat narasi – narasi yang padat dan puitis. Kepiawaian Dirman dalam menyusun kalimat demi kalimat dalam novel ini patut diacungin jempol. Perhatikanlah salah satu narasi dalam novel ini,

Ia tertawa sendiri dan menunjuk bintang yang dirasanya paling terang. Di sana, ia seolah melihat Umar. Melihat Hami. Melihat Ama-nya yang dengan mata merah memahat benci. Melihat mata Ina yang basah, menangisi perpisahan yang begitu perihkan dada. Melihat masa – masa remaja yang begitu ingin diulanginya kembali. Melihat Ali dan Mida yang tersenyum tulus kepadanya. Melihat Abah, tuan guru Abdullah, yang mengajarinya kehidupan dengan cinta. Melihat api yang menjilat langit. Melihat beberapa orang bermain gantao dengan suara gendang dan alat – alat musik lainnya yang bersenandung hingar. (hal 15)

Seperti apakah cinta? Apakah rasanya cinta? Maniskah? Asin? Atau… pahit? Seperti apakah parasnya? Apakah seperti matahari yang kemilaunya membuat mata silau? Apakah seperti angin yang membelai dengan kesejukan yang nyalang? Apakah seperti bintang yang sinarnya terangi gulita?. Jika ada yang bertanya padamu tentang cinta, Tak perlu bingung! Jawablah dengan apa saja. Sebab cinta adalah matahari. Adalah angin. Adalah bintang. Adalah segala. Semua ada karena cinta; Aku, kau, mereka, kita. (Hal 35)

Saya sempat bingung tapi pada akhirnya sedikit kagum dengan daya kreatifitas pengarang mengenalkan tokoh La Hami dengan La Hawa dalam novel ini. Penceritaan dari sudut pandang orang ketiga sejak awal novel tiba – tiba berubah menjadi penceritaan dari sudut pandang orang pertama ketika masuk bab pengenalan dua tokoh sentral novel ini. Dan dengan hal itu pengarang berhasil membuat pembaca mengenal La Hami dan La Hawa dengan sangat baik karena memang kita akan mendengarkan langsung dari mulut mereka. Benar – benar jenius kalau dalam pandangan saya.
Ibarat pepatah tiada gading yang tidak retak, sayapun menemukan beberapa titik ‘cacat’ yang ‘menodai’ kedahsyatan novel ini. Sedikit kemiripan kisah dalam beberapa fragmen dari novel ini dengan legenda Wadu Ntanda Rahi menjadi catatan pertama saya. Entah saya harus menyebut ini sebagai kekurangan atau kelebihan. Bagaimanapun Watu Ntanda Rahi adalah legenda yang begitu melekat kuat dalam kehidupan masyarakat Bima. Ketika ada satu karya yang terinspirasi dari suatu karya yang begitu fenomenal, walaupun itu cuma dalam bagian yang begitu kecil, tetap saja orang akan mengaitkan dengannya. Cara penyampaian yang berbeda bisa dikatakan telah sedikit menyelamatkan novel ini dari hal tersebut.

Sebagai penutup, bagaimanapun juga terlepas dari kelebihan dan kekurangan novel ini, kita sebagai dou Mbojo harus berbangga hati karena telah lahir lagi seorang anak Bima yang lewat kekreatifannya telah berhasil membuat Bima dikenal oleh sastrawan kaliber nasional maupun internasional setelah sebelumnya beberapa dari putra kebanggaan dana Mbojo telah membuka jalan ke arah itu.

Bravo Akhi Dirman Al – Amin, lewat goresan penamu tetaplah menjadi cahaya yang membuka mata dunia akan dana Mbojo yang kita cintai.
***
Inilah beberapa pujian / endorsment untuk novel ini :

Ini novel yang memukau. Akhi Dirman mampu menggali latar etnik Bima dengan bagus dan lembut.
(Ahmad Tohari, Sastrawan)

Dirman menulis novelnya dengan bahasa yang indah, jernih dan puitik. Semoga maju jaya dan menjadi penulis produktif dan bermutu.
(Puan. Siti Aisah Murad, sastrawan, Jabatan DPB Kuala Lumpur, Malaysia)

Dirman adalah semangat. Dan buku ini mencerminkan semangat yang bergolak dalam dirinya untuk selalu menegakkan pena. Warna lokal yang diusungnya semakin memperkuat semangat itu. Karya yang menarik dan akan menginspirasi pembacanya.
(Rahmadiyati Rusdi, CEO LPPH)

Novel yang mengupas tentang dukalara perempuan telah banyak. Tapi Dirman membesutnya dengan konflik adat daerah. Bagus dan menawan!
(Pipiet Senja, Novelis, Tinggal di Depok, Jawa Barat)

Moga kekal mencintai ilmu dan terus intim dengan buku. Teruslah perjuangan menegakkan KALIMATULLAH, Dirman!
(Zaid Akhtar, Novelis Malaysia)

Saya pertama kali bertemu Dirman di acara MASTERA. Saat itu, saya mengenal sosok Dirman sebagai penulis yang masih muda, berbakat dan kreatif. Semakin saya mengenalnya, saya semakin merasakan ‘sesuatu’ dalam dirinya. Sebuah kreativitas yang luar biasa besar. Saya bekata dalam hati saya; anak muda ini luar biasa!
(Sulaiman Tripa, Novelis Aceh)

Akhi Dirman, anugerah tak ternilai kebanggan FLP NTB. Semoga novel yang sangat menyentuh ini menjadi satu babak yang indah dari rentetan dakwah lewat pena berikutnya. Terus ekspos Bima tercinta dalam karya...
(Emzi Azzam, Divisi PSDM FLP NTB)

Dirman, lu keren banget! Novel lu menyentuh dan bikin gue terharu banget! Yang lebih keren, lu mampu menulis novel lu dalam bentuk skenario film, memproduksi dengan biaya sendiri, menciptakan dan menyanyikan lagu soundtrack, juga.... menjadi pemain! Gue kagum ma lu, Fren! Keren...!!!
(Fauzy, direktur FOSSCOM Multimedia)

6 komentar:

brian mengatakan...

Tulisan yang sangat indah pak , sangat berbangga hati blog saya dikunjungi oleh bapak

Akhi Dirman Al-Amin mengatakan...

Brian :
itu tulisan adik saya :)
dia merensi novel saya
Selamat ya masuk 25 Besar!
Semoga tulisannya semakin baik dan bermanfaat

mipmip mengatakan...

wah belum baca buku2 karya akhi dirman, btw apa edar sampai di negara Hong Kong jg ya akhi? hehe mupeng^^

terus berkarya buat akhi dirman...

semangattt

Akhi Dirman Al-Amin mengatakan...

mip mip :
yang aku tau, buku ini br edar di negara2 asia tenggara saja :)

Perempuan Semesta mengatakan...

assalam..
mantap! FLP NTB tapi jiwa Bima ada di dalamnya.. bangkitkan juga FLP Bima dong!
ntar insyaAllah, saya juga turut serta... :-)

Kak, ingat saya? Ni Atun... saya juga aktif di FLP Sulsel skrg...

eh, minta nomor HPnya yaa.. jgn lupa kunjungi jg blog-ku... OK!

Akhi Dirman Al-Amin mengatakan...

Nomor HP minta di Nazer aja ya :)
FLP NTB pusatnya di Bima kok :)