Minggu, 20 Juni 2010

PULANG (Cerpen)



Berarak-arak burung-burung kembali ke sarangnya seiring malam pekak yang menyelimuti mayapada. Dinginnya udara yang menusuk tulang semakin membenamkan lelaki itu dalam balutan selimut kusamnya.
Sunyi.

Bulan sabit berlari tak tentu rimba.
Bintang-bintang bersembunyi di balik awan.
Malam semakin sepi. Semakin sunyi. Lelaki itu merasa semakin sendiri. Semakin hampa. Hanya suara jangkrik dan lolongan anjing malam yang mengantarkan lelapnya.

Lelap?

Apakah ia pernah merasakan arti lelap? Arti mimpi?

Tidak! Tidak begitu. Ia tak pernah lelap, sebab kelampauan selalu membayangi ke sudut manapun ia melangkah. Perasaan bersalah, tangisan-tangisan itu, darah yang membanjir membasahi negeri.
Ah.
Sesungguhnya ia tak pernah lelap, sebab kelampauan memaksa mata lelahnya agar selalu terbuka jalang dan setiap saat menguncurkan airmata nyeri membayangkan siksa yang menantinya kelak.
Apakah hukumannya bagi seorang penghianat? Bagi seorang pembunuh? Nerakapun rasanya terlalu VIP. Tapi…, bagaimana bila pembunuhan itu bukan dilakukan tangannya?
Ah.
Telah berapa ratus nyawa saudaranya yang melayang akibatnya? Padahal apa salah mereka?
Lelaki itu memandang langit. Kelam…, seperti hatinya.
“Tidak anakku…,tidak ada kesalahan yang tak terampuni selama kau benar-benar mau bertaubat kepada Allah dan meminta maaf.” Kata Kyai Ahmad, seorang mubaliq terkenal, ketika lelaki itu mengadu.
“Pada siapa saya harus meminta maaf, Kyai…?”
“Tentunya pada Allah yang maha pengampun dan pada orang-orang yang kau sakiti hatinya…”
Lelaki itu memandang langit dengan mata lelah. Kelelahan yang teramat sangat. Dia tahu Allah maha pengampun dan mau memaafkan dang mengampuni salah dan khilaf hamba-hambanya, tapi… bagaimana dengan orang-orang itu? Kemana harus dicarinya? Atau… Apakah mereka masih hidup? Bibirnya bergetar takkala mengucapkan kalimat-kalimat patah…
“Tak mungkin… tak mungkin,Kyai. Dosa saya tak terampuni… Dosa saya tak terampuni…” Sendu ucapan-ucapannya bergulir. Lelaki itu menutup wajahnya dengan kelopak tangannya.
“Mengapa engkau berkata demikian, anakku?!”
“Bagaimana saya bisa meminta maaf pada orang-orang itu, sedangkan…”
Kyai Ahmad memandang Lelaki itu dengan segudang tanda tanya. Lelaki itu menunduk. Airmatanya menguncur tak terbendung. Menitik satu-satu di wajahnya, ketika ia menegadahkan wajah…

“Sayalah provokator itu, Kyai..” Ucapnya. Terbata-bata.
Lagi – Lelaki itu memandang langit. Mencari-cari yang tak tergapai. Hilang. Airmatanya berkejaran di pipinya, membasahi rindunya.
Seandainya waktu bisa diulang, ingin ditarik-tariknya waktu yang beredar. Ingin dibenahinya segala dosa. Tapi… adakah waktu bisa diulang? Hari ini tetaplah hari ini, dan hari esok adalah hari esok jua. Tak berubah… dan tak akan kembali.

Dengan tangan gemetar, lelaki itu menghapus airmata yang mengalir di pipinya. Matanya teramat lelah dan lelah. Berkali-kali dicarinya wajah Allah dan orang-orang itu di langit, tapi tak ada. Hanya burung-burung yang melintasi cakrawala yang ditemuinya.

Hidupnya tambah sepi
Tambah hampa
Malam apalagi
Ia memekik ngeri
Dicekam kesunyian kamarnya.

* * *
Beberapa tahun yang lalu…

Lelaki muda, dengan langkah gamang membimbing perempuan tua. Matanya kabur terpancang dalam muka yang pucat, jauh lebih pucat dari perempuan tua yang kelihatan sakit-sakitan dengan batuk yang menggelegar. Menambah cekung dan tirus wajahnya yang menonjolkan tulang-tulang rahang.
Malang baginya. Malang. Duka-duka itu menerobos hidupnya tanpa ampun. Tanpa permisi.
Setahun yang lalu suaminya meningal tanpa meningalkan pesan atau sekedar warisan untuk kelangsungan hidupnya dan anaknya.

Warisan?!
Warisan macam apa?!
Apakah penderitaan bisa dinamakan warisan?! Apakah utang yang menumpuk bisa dimaknai warisan?! Apakah rumah yang terpaksa dijual bisa dinamakan warisan?! Apakah anaknya yang terpaksa meningalkan bangku kuliah karena tak bisa membayar uang kuliah bisa dinamakan warisan?! Apakah penghinaan dari saudara-saudaranya bisa dinamakan warisan?! Warisan?! Warisan macam apa?
Perempuan itu diusir dan tidak diakui anak oleh kedua orang tuanya, karena keinginan yang kuat untuk masuk Islam. Ditinggalkannya kemewahan dunia untuk menggapai cahaya Illahi, sampai seorang pangeran melamarnya.
Pangeran?!
Lelaki miskin itu?
Tapi wanita itu tak perduli, dan tak menangis sedikitpun. Tak menyesal.
Tapi, saat ini, betapa kuat perasaan itu menindih hatinya. Dia ingin menangis…
Baru saja ia ke rumah sakit, tapi bukan obat yang didapatkannya, melainkan umpatan yang menyakitkan telinga…
“Ini rumah sakit, bukan penampungan orang yang hampir mati!”
Lelaki muda di sampingnya terbakar emosi yang meletup-letup di matanya. Rahangnya mengeras, dihimpit amarah yang memuncak.
“Begini kalian memperlakukan orang yang hampir mati?!” Teriaknya. Kesakitan menjalar ke jantungnya.
“Apa urusannya denganmu?” Suster itu memandang sinis.
“Catat nama saya suster; Bagas!… suatu saat saya akan kembali!”
Suster itu meludah di lantai, seolah jijik!

***
Mendung kelabu memeluk Indonesia. Tajung Priok berdarah, aceh berdarah, Poso berdarah, Surabaya mengamuk, Timur Timor mengamuk, NTB ikut-ikutan mengamuk. Cut Tari menangis, Tagor menangis, Ali menangis, busung lapar mewabah.
Indonesia berdarah…, kemanapun melangkah amis darah tercium membuat perut menjadi mual.
Lelaki itu, Bagas, telah berusaha mencari pinjaman untuk pengobatan ibunya. Tapi siapa yang bisa membantu? Reformasi hanyalah membuat rakyat kecil repot mencari nasi! Semakin tertindas. Ketakutan.

Api harapan menyala dalam hatinya, sekalipun hanya berkedip kecil ibarat lilin di tengah malam buta yang tercekik lambat-lambat oleh gulita, ketika seorang lelaki dengan pakaian licin yang necis – dan tentu saja bermerek—berdiri di hadapannya. Lelaki itu Arman, temanya di fakultas hukum dulu, meskipun Bagas hanya nembus sampai semester empat, menawarkan setumpuk uang…
Api harapan itu semakin kuat menyala. Berkobar-kobar, namun padam pelan-pelan ketika ia iangat Allah. Tapi…. bagaimana dengan ibu?!”

“Tidak sobat… aku adalah seorang putra bangsa sejati. Aku cinta Indonesia. Dan aku tak akan mengotori cintaku, apalagi menjualnya, hanya demi kepentingan perut. Hanya hewan yang melakukan itu,sobat!”

Arman tertawa kecil, tanpa sedikitpun merasa tersinggung.”Apa yang kau dapat dengan cinta itu, Gas?! Apa?! Sadar,Gas! Apa yang diberikan Indonesia untukmu? Cacian? Makian? … ayolah, kawan, bergabunglah dengan kami. Tak akan ada lagi yang menghinamu. Ibumu akan sembuh. Kalian akan hidup bahagia. Kamu bisa melakukan apapun yang kau mau, bisa membeli apapun yang ingin kau beli.dan satu lagi…, meskipun aku berkerja seperti ini, aku masih punya cinta pada negeri ini. Aku bantu orang-orang miskin, aku peluk anak-anak yatim, aku…”

“Diam! Diamlah! Anjing sepertimu tak tahu cara mencintai. Engkau hanya bisa menggonggong, menjilat, dan sesekali menggigit. Aku tahu orang seperti apa kamu ini!”

“Jadi engkau tak tertarik?!” Arman memainkan lembar-lembar rupiah di tangannya.
Bagas meludah, kemudian pergi. Mengumpat-ngumpat. Arman memandangnya dengan dongkol.
Tapi keesokah harinya, dengan bantuan kartu nama luks yang diselipkan Arman di kantung bajunya, bagas muncul di depan rumah Arman. Untunglah ia disambut langsung oleh Arman, bukan anjingnya!

“Ada apa, sobat?” Katanya, menyapa.
“Demi ibu,… aku akan menjadi penghianat!”
Arman tertawa, memeluk Bagas. Bagaspun ikut tertawa… diantara airmata yang meluncur di pipinya.

***

Luka semakin menganga. Perih. Indonesia semakin tenggelam dalam lautan airmata anak bangsa, berbaur darah yang tak kunjung mengering.

Nyawa-nyawa melayang sia-sia. Pertikaian semakin berkobar. Rakyat jelata semakin menderita. Aceh semakin parah, Ambon semakin parah, NTB sudah mulai tenang, namun kekacauan lain menjelma berjuta. Timor-imur telah membentuk negara sendiri. Indonesia semakin berduka, Tagor berduka,Ali berduka, Bocah-bocah kurus meningal kekurangan makanan. Indonesia semakin berduka, semakin muram.

Bagas tertawa sumbang. Gedung megah telah ditempatinya, rumah sakit yang dulu mengusirnya telah dibakar, ibunya dimasukkan ke rumah sakit terkenal.

Apa yang tak bisa dibelinya kini?

Anak-anak yatim dibantunya, orang-orang jompo ditolongnya, fakir miskin ditengoknya.
Tapi… mengapa galau itu bertubi-tubi menyerangnya?

Di merasa seperti binatang, seperti hewan. Seperti seekor musang hina yang memakai bulu domba.
Di luar negeri dia rusak nama Indonesia, dia jual nama Indonesia. Dia sulut permusuhan antara satu partai dengan partai lainnya, antara satu daerah dengan daerah lainnya, antara agama dengan agama, antara penduduk asli dengan pendatang.

Apakah semua dosa itu terhapus dengan menyantuni kaum duafa?

Majelis taklim didatanginya. Ceramah-ceramah agama didebgarkannya. Dan semua selalu berakhir di ujung sesal. Sesal yang dalam.

Seandainya bisa memilih… ia ingin seperti dulu ; miskin tapi beriman. Tapi bagaiman dengan ibu? Bukankah ini semua demi ibu? Apakah ibu senang?… sakitnya tak kunjung sembuh…
Handphone kecil di sakunya berbunyi…,

“Ya.. halo… betul, saya Bagas. Apa?! Terbakar? Ibu… ibu… bagaimana dengan ibu saya?… ya… ya… ya… saya segera ke sana…”

Bagas panik, baru saja dia mendapat kabar, bahwa rumah sakit tempat ibunya dirawat , terbakar akibat amuk massa yang tak terkontrol.
Ah.
Inikah hukuman Allah itu?

***

Langkahnya goyah… berjalan sendiri… ada kepiluan yang tergores di mata lelahnya. Rumah sakit itu telah berubah menjadi puing-puing pecah hanya dalam hitungan kejapan mata. Tapi… dimana ibu? Dimana ibu? Dimana? Apalah artinya hidup ini tanpa orang yang dikasihaninya itu? Tanpa ibu!
Lelaki itu mencakar-cakar abu yang masih panas. Tanganya melepuh. Tapi seakan tak perduli, lelaki itu terus mencakar, terus mencari. Airmata berkejaran di pipinya.

“Ibu… dimana ibu… dimana ibu…. Ibu! Iiiiiiiibbbbbuuu!” teriaknya. Membelah langit. Berulang-ulang.
Di ujung lelahnya, lelaki itu tersungkur. Memekik ia berdiri, kemudian tertwa dan terus trtawa, berlari-lari tanpa arah dan terus berlari.

Sampai anak-anak kecil melemparnya dengan kerikil, samapai orang-orang meludahi dengan jijik mukanya yang penuh luka. Dia terus berlari, terus tertawa.
Hanya satu yang membuatnya berhenti dan menangis… suara muazin yang menggema dan ayat-ayat suci yang nirmala mendengung menembus malam.

Cahaya dari tiap sudut .Mendekat jua.
Dalam ketakutan menanti
Ia menyebut satu nama
Terkejut ia terduduk,
Siapa memangil itu ?
Ah,
Lemah lesu ia tersedu ; Ibu! Ibu!
***
Dorowila, Mei 2001
Keterangan:
Syair adalah puisi ‘Sendiri’-nya Khairil anwar.

Ini termasuk dalam cerpen2 pertama yang aku tulis semasa SMA. Aku edit ulang tahun 2001 dan alhamdulillah dibukukan dalam kumpulan cerpen pertamaku, "Negeri Air Mata"

6 komentar:

Winny Widyawati mengatakan...

Entah apa panggilan yg akhi Dirman sukai, mas/abang ?

Cerpennya menarik :)

Saya sangat mengharapkan akhi mau berbagi ilmu, bgm caranya agar karya kita bs dibukukan. Trmkasih jika ada postingan khusus ttg hal ini.
Trmkasih sebelumnya ya :)

Akhi Dirman Al-Amin mengatakan...

InsyaAllah Winny...
lg saya tulis. Insyaallah nanti akan saya post :)

Anazkia mengatakan...

updateeeeeeeeeeeee....

nanti, kabarin Anaz juga yah? ;)

Akhi Dirman Al-Amin mengatakan...

Anazkia : Hokeyyyyyyyyyyyy...
kebetulan ini juga diundang jd trainer kepenulisan lagi. Yo sekalian untuk acara itu. hehehehe.... sambil menyelam minum air :)

Binar mengatakan...

Wah.... keren.. Sukses ya !

Akhi Dirman Al-Amin mengatakan...

FLP Cianjur :
Makasih banyak ya :D