Kamis, 16 Februari 2012

CATATAN SEUSAI MENONTON HAFALAN SHOLAT DELISA

Catatan ini terdiri dari 2 tulisan. Tulisan pertama yang berjudul BEBERAPA CATATAN... adalah tulisan saya dan tulisan kedua adalah tulisan sahabat saya, Hendra Veejay

BEBERAPA CATATAN MENGENAI FILM HAFALAN SHOLAT DELISA
 --Akhi Dirman Al-Amin

Saya membaca novel ‘Hafalan Sholat Delisa’ sudah lama sekali. Beberapa tahun yang lalu. Sungguh, novel yang ditulis dengan sangat apik oleh Tere Liye ini berhasil ‘membius’ imajinasi saya. Terlebih lagi saya sempat tinggal beberapa bulan di Aceh dan mempunyai orang tua angkat dan saudara-saudara yang ketika berpisah untuk kembali ke NTB membuat saya menangis seperti anak kecil di atas pesawat yang membawa saya meninggalkan mereka.

Karena itu, ketika mendengar kabar bahwa novel ini akan difilmkan, saya berdebar. Menyiapkan keharuan untuk menyaksikan dahsyatnya tsunami, sambil membayangkan bapak saya, keuchik Amir, yang kehilangan beberapa orang kerabat di Aceh sana. Bahkan ada yang sampai sekarang tidak diketahui jejak keberadaannya.
Dan sungguh, membaca ‘Hafalan Sholat Delisa’, saya menangis. Hehehe… karena lewat novel itu, saya belajar dari seorang anak kecil yang kehilangan saudara-saudaranya, dan juga ibu tercinta karena dahsyatnya tsunami.
Bagaimana dengan filmnya?


Sepanjang menonton film ini keterharuan yang sama melanda hati saya. Bahkan mata saya hamper berair. Didukung lagi oleh acting Reza Rahadian yang begitu alami, juga acting Delisa (Chantiq) yang terkesan begitu kekanakan. Dalam hal ini, harus diakui, sutradara Sony Gaokasak berhasil menciptakan sebuah suasana yang lumayan bagus.
Namun, entah mengapa, sebagai orang  yang pernah tinggal di Aceh, saya tidak merasakan sama sekali suasana Aceh dalam film ini. Baik dari logat pemain maupun latar yang dihadirkan. Bahkan menurut saya, acting Nirina Jubir (pemeran Mak Delisa, Ummi Salamah) kurang natural dan keibuan.

Never mind! Itu masih bias dimaklumi. Tapi… ketika sampai di menit-menit terakhir menonton film ini. Pas di ending (bagian yang paling saya tunggu-tunggu), entah mengapa, saya ingin tertawa. Hilanglah semua suasana yang dibangun oleh sutradara dari awal. Di novel digambarkan Delisa bertemu dengan Ummi-nya yang tinggal tulang belulang sambil memegang kalung bertuliskan huruf D, D untuk Delisa. Ketika Delisa selesai menghafal bacaan sholatnya.

Di film?

Di filmnya kita akan melihat Nirina Jubir tidur di atas pasir (mati?) sambil memegang kalung. Kalung itupun diambil oleh Delisa dari tangan Nirina Jubir. Begitu saja. Dan… aneh! Sangat aneh! Bagaimana mungkin setelah beberapa bulan sejak Tsunami mayat Nirina Jubir (ummi salamah) masih normal dan tdk berubah suatu apapaun?
Ending ini sangat BERHASIL menghancurkan seluruh bagian-bagian yang bagus di film ini.
Intinya, film ini mengecewakan. Sekian. :D

***

Bagian: Hafalan Shalat Delisa


Tulisan ini adalah tiga paragraf yang saya comot dari tulisan saya sendiri yang berjudul "Menanti Islami Asli, Bukan Adaptasi". Tulisan tersebut saya ikut sertakan dalam lomba movie critic essay yang diadakan FE-UI, sengaja saya comot sebagian kecil darinya karena merasa bagian ini ada keterkaitan rasa dengan tulisan Akhi Dirman yang berjudul "CATATAN MENGENAI FILM HAFALAN SHOLAT DELISA" Jadi anggap saja tulisan ini melengkapi tulisan Dirman...

=======

...
Tapi kalau kita hanya bicara kuantitas, jelas ini tidak sehat. Karena kuantitas hanya penting bagi para produser (baca: pengusaha film), artinya keuntungan secara finansial dan isi rekening yang bertambah. Sementara apa yang akan disajikan pada penonton? Tentu tanpa harus berdebat, kita mestinya sepakat bahwa uang tiket dari penonton haruslah ditukar dengan kualitas film yang bagus.Problemnya, di Indonesia sedikit sekali film adaptasi yang berkualitas, dan jumlahnya lebih sedikit lagi untuk film adaptasi berlabel Islam.

Contohnya adalah Hafalan Shalat Delisa. Secara novel, ceritanya berada di atas rata-rata. Tere Liye dengan berhasil bisa membangun kesedihan pasca bencana tsunami yang dipotret dari mata seorang anak perempuan. Banyak pembaca yang mengakui bahwa novel ini bagus—apalagi untuk mereka yang memiliki keterkaitan dengan bencana tsunami pada bulan Desember 2004—tapi emosi dan atmosfir yang begitu baik ditampilkan di novel ternyata menguap di dalam film.
Bagaimana ini bisa terjadi? Sedangkan jelas yang diadaptasi adalah karya berkualitas. Banyak yang perlu digarisbawahi—dan juga merupakan contoh bagi film adaptasi lainnya—antara lain: Penggambaran tsunami sebagai kunci cerita yang tidak menimbulkan kesan mengerikan. Adegan datangnya air di sana terkesan lucu, hanya setingkat lebih baik dari animasi ular naga ungu di sinetron Indosiar. Bagaimana mungkin membangun kesan ngeri bila penonton sadar bahwa yang dia lihat adalah di layar adalah bohong-bohongan?

Lalu akting pemain yang masih menjadi dirinya sendiri. Mike Lewis masih jadi Mike, bukan prajurit Smith. Atau Nirina Zubir masih jadi Nirina, bukan Ummi—Kelemahan ini juga terjadi dalam Ketika Cinta Bertasbih—Hanya Reza Rahadian dan Chantiq Schagerl yang berakting bagus, tapi tentu tidak mungkin jika cerita ini hanya diusung mereka berdua sementara di dalamnya banyak tokoh lain. Beda kalau filmnya sejenis Before Sunset (Richard Linklater, 2004) yang tokohnya cuma dua atau Burried (Rodrigo Cortes, 2010) yang tokohnya bahkan cuma satu.

0 komentar: