Selasa, 20 Juli 2010

RHYTHM OF THE RAIN

(Cerpen Ini menjadi pemenang utama UNSA Award 2010)

 
Biarkan hujan itu…
Membasahi segala yang kering
Meski lukamu akan perih
Tetaplah tertawa
Tetaplah tersenyum

Biarkan hujan itu…,
Biarkanlah!
Biarkan pula laron-laron menuju lampu
Mencari damai yang hilang
Di dalam pelosok
Hati kita.

@@@

Hujan yang membasahi kota ini, kau tahu?! Seolah magnet kuat yang menarikku menuju lorong kenangan. Ada senyum dan tawa kala itu, meski tentu saja hidup tak cukup diisi dengan itu. ada juga luka dan cobaan yang semakin mendewasakan usia.

Kau mungkin masih merasakan, betapa romantisnya suasana pulau ini pada saat-saat seperti ini, ketika titik – titik hujan bercanda dengan alam.

Betapa mesranya…
Betapa damainya…
Tapi, apakah masih kau rasakan segala itu?!

Tanah ini telah darah, No. telah terbantai oleh amukan perang yang tak berujung. Kau pasti mengerti itu. kau pasti mengerti, bahwa di sini cinta dan kedamaian telah lama tertimbun dan membusuk dalam liang kubur yang gelap.

Pun kau tahu, bahwa di tanah ini, berkeliaran manusia – manusia pemberontak yang berubah menjadi iblis. Mata mereka merah menyala seperti api, demikian pula gigi mereka yang bertaring tajam seperti srigala.

Tap di sini, ada juga yang meratap dan menangis. Rakyat sipil yang tak tahu apa – apa. Yang dipaksa menelan segala anyir dan luka.

Kau tahu, No?!
Mereka meringkuk ketakutan di kolong ranjang mereka hanya untuk mempertahankan sehelai napas mereka yang telah tergadai di ujung senapan. Anak gadis mereka diperkosa beramai-ramai, dibunuh, kemudian mayatnya dibiarkan membusuk seperti anjing.

Kau tahu, No?! Kau harus tahu, No. Harus! Mereka bukan anjing, tapi mengapa mereka diperlakukan lebih buruk daripada anjing, No?! Anjing masih bisa melawan, menggigit atau mencakar, tapai mereka?! Mereka terlalu tak berdaya untuk melakukan itu, No.

Tanah ini seperti kuburan, No. atau, seperti katamu, tanah ini seperti nenek tua jompo yang memakai perhiasan mahal. Indah, tapi hanya menunggu sisa – sisa waktu untuk terbaring pasrah dalam kematian panjang.

Dan jika kau berdiri di puncak tertinggi, kau akan melihat gedung-gedung sekolah yang terbakar, rumah-rumah dan bangunan entah apa yang menjadi abu dalam sekejap karena keangkaraan. Asap-asap yang mengepul tinggi akan terlihat seperti bongkahan salju yang saling berkejaran.

Dan, No, jika kau memandang lebih jauh, kau akan melihat orang – orang berlari tanpa arah di jalanan, seperti titik – titik kecil yang bergerak acak tak beraturan. Kau juga akan melihat mayat – mayat berserakan membusuk tak terurus, hingga menjadi santapan lezat bagi pesta anjing-anjing liar.
Kau juga akan melihat truk – truk yang mengangkuti pengungsi, juga pasukan loreng yang tertebar dimana-mana.

Bukankah kau melihat semua yang terjadi di tanah yang hampir mati ini, No?! Bahkan kau, juga aku, sering mengabadikan detik – detik kematian tanah ini dalam berol –rol film yang kita cetak dengan tangan bergetar. Kita bahkan sering menagis seperti anak kecil yang kehilangan permen menyaksikan gambar – gambar yang terekan dengan tinta darah itu.

Tapi, bukankah untuk itu kita dikirim ke pulau ini?!

Ya!
Kita dikirim ke pulau ini untuk meng-close up tragedi di pulau ini dalam beberapa file berita darah dan gambar-gambar yang tak kalah darahnya, yang kemudian akan kita kirim ke kota lewat E-mail untuk koran Harian Nasional tempat kita bekerja.

“Kadang aku benci pekerjaan ini!” Ujarmu suatu hari, sambil memasang film di kameramu.
Aku memandangmu aneh.
“Kita seperti seorang penari yang lincah bergerak di atas tubuh saudara kita yang sedang sekarat.” Roman wajahmu mengeras ketika kau mengucapkan kata itu.
“Kita mengabarkan kebenaran, No!” Balasku tajam, “Kita juga berjuang untuk mereka!”
“Berjuang?! Jangan sok pahlawan, Dy!”
“No!” Aku berteriak keras. “Bukankah dari berita yang kita tulis, kita bisa menarik simpati saudara-saudara kita yang lainnya?!”
“Simpati?! Non sen! Omong kosong itu!”
“Terserah apa katamu,” Ujarku mengalah. “Tapi aku tak ingin kau menghina pekerjaanku!”
kemudian, tanpa kita sadari, hujan menerpa kencang di luar halaman. Engkau menutup semua jendela dan pintu rumah sederhana yang kita kontrak dengan murah. Beberapa menit kemudian, kau membuat dua cangkir kopi panas.

Kau memang sahabat yang baik, No…

Lantas, sambil merapatkan mantel, engkau memandang langit-langit ruangan. Kau begitu menikmati konser hujan yang berseteru dengan seng atap rumah, No.
“Jika hujan seperti ini, aku jadi ingat Rohani dan Imam, istri dan anakku. “ Ujarmu sambil melukis senyum. Akupun melukis wajah Dewi, istriku, dan si kembarku non identikku yang tersayang; Ahzam dan Nurul.
Sedang apakah mereka?!
“Kamu tahu, Dy?!” engkau menatap wajahku. Ku balas dengan penuh perhatian.
“Aku bisa membayangkannya…” ujarku simpatik.
“Jika hujan seperti ini, anakku, Imam yang baru enam tahun itu, bawaannya pengen mandi hujan saja. Tak peduli hari sudah malam sekalipun.” Kau tersenyum dan tertawa kecil. Jelas ku lihat kerinduan yang dalam dalam nada suaramu, sama halnya dalam getar suaraku sendiri.
“dasar anak-anak! Ia akan menagis terus, jika tak dituruti keinginannya.” Tawanya melebar.
Ah.
Untunglah si kembarku sudah cukup besar, kelas tiga SMP. Tentulah istriku sudah tak terlalu kerepotan bersama mereka.
“Sedang apakah mereka di sana, Dy?!” tanyamu mengambang.
Aku tersentak.
“Mereka pasti menunggu kita pulang.” Kau jawab sendiri pertanyaanmu.
“Ya! Mereka pasti menunggu dengan rindu dan kecemasan.”

Tapi, sampai kapan mereka harus menunggu, No?!
Sampai kapan?!
Di sini hujan bukan lagi air,
Tapi memerah dan anyir.
Kidung tak lagi merdu,
Tapi menyayat
Penuh rintih
Mati!
Kapan hujan darah ini mereda, No?!
Ataukah mereka harus menunggu sampai kita mati?!

Dan… pada suatu malam yang celaka, tiba-tiba aku tersentak bangun. Engkau mengguncang-guncang tubuhku seperti ada harimau buas yang akan menerkam.

Aku mengerti isyarat itu, terlalu mengerti. Sebab itulah yang kita cari di sini. Berita pertikaian lagikah?!
“Kita harus cepat, Dy!” Ujarmu. Tangkas, kau memakai mantel dan menyandang kameramu. Akupun melakukan hal yang sama.

“Dimana?!” Tanyaku. Ada rasa tak enak yang aneh menyerang, namun kutepis. Aku wartawan profesional yang tak boleh percaya pada hal-hal seperti itu.

Seperti tak menghiraukanku, engkau menyeret tanganku. Beberapa detik kemudian, kita menebeng mabil tentara yang mungkin akan ke tempat itu juga untuk memulihkan keadaan. Beberap di antara mereka ngobrol akrab denganmu, seolah sahabat lama yang baru berjumpa.

Engkau memang supel dan bersahabat. Sungguh, No, aku iri akan hal itu.

Dari pembicaraanmu dengan tentara-tentara itu, aku bisa menduga, bahwa ini adalah kerusuhan paling besar yang terjadi di kota ini. sempat timbul rasa ngeri dan ketakutan di dadaku, membayangkan manusia-manusia iblis dengan mata merah dan taring darah yang bentrok dengan tentara.
Dan dugaanku tak meleset, bukan, No?!

Suara desingan peluru dan aroma kematian seolah menutupi tanah mati ini. asap-asap mengepul bersama dentuman bom yang sahut menyahut.

Engkau dan aku sibuk mencari angel dan sudut pandang yang menarik utnuk kita pindahkan dalam kamera. Peluhku membanjir memabasahi kaosku.

Orang – orang berjibaku saling membunuh. Teriakan-teriakan histeris menggema. Aku memotret dengan gemetar dan jantung berdegup kencang.

Sampai akhirnya, karena tidak bisa melawan ganasnya manusia-manusia iblis itu, beberapa tentara lari kiembali ke mobil meninggalkan arena pertempuran yang berjalan tak seimbang.
Aku memanggil – manggil namamu, No. Tapi di mana kau, No?!
Sampai akhirnya, mataku melihat sosokmu yang terjebak di tengah huru hara.
Aku berteriak memanggilmu, No.

Lalu suara dor –dor – dor membuatmu terguling, kameramu pecah. Bajumu memerah. Aku menjerit histeris. Aku bergerak ke arahmu, kemudian menarimu keluar dari huru hara dengan susah payah. Kemudian aku tak ingat apa-apa lagi. Aku merasa keperihan yang sangat di dadaku.
Apakah dor-dor itu juga menyantap dadaku?!

Esoknya, kita diterbangkan ke kota. Engkau sudah tak sadarkan diri kala itu.
“Jika aku pergi. Tolong jaga Rohani dan Imam, Dy.” Ujarmu sebelum tak sadarkan diri.

Jangan tinggalkan aku, No. Sebab… aku akan menangis.

No, kau tahu?! Kini kita telah sampai di kota. Dimana anak-anak dan istri kita menunggu dengan rindu. Bukankah kau rindu pada Rohani dan Imam?! Maka, jangan mati ya, No?!

Aku benci bau obat yang menyengat hidung ini, No. Aku benci harus terbaring lemah di kamar serba putih ini. Aku ingin mengetahui kabarmu hari ini. Apakah kau telah sadar?!

Lantas, ku lihat di luar halaman rumah sakit, Pak Heru, pemred kita dan sahabat-sahabat kita lainnya dengan pakaian hitam – hitam. Ada juga anak dan istrimu yang menangis teriasak – isak.

Aku menangis menyadari itu, No. Aku sahabatmu, No. Mengapa malam itu harus ada pertikaian lagi, hingga merenggut kau dari kami?!

Jika aku pergi. Tolong jaga Rohani dan Imam, Dy.

Aku melepaskan selang-selang yang melilit tubuhku dan memandang sesosok mayat yang terbaring di atas ranjang dorong. Aku tak percaya, bahwa itu kau, No! Engkau belum mati, bukan?! Aku peluk tubuhmu yang telah kaku, kemudian menangis tersedu-sedu.

Aku akan menjaga dan melindungi anak dan istrimu, sobat! Aku janji, No! dan… jangan sangsikan itu, sebab aku adalah sahabat sejatimu. Imam akan kuanggap sebagai anakku sendiri, dan Rohani akan kuanggap dan kuperlakukan seperti saudaraku sendiri.

Kau tahu, No, jika kau bangun, kau akan melihat suasana rumah sakit ini. memang tak ada yang berbeda dengan rumah sakit lainnya, tapi pagi ini hujan menerpa, No. Aku jadi teringat pembincaraan kita di rumah kontrakan itu, No.

Namun aku begitu terkejut, ketika sebuah mobil terparkir dengan manis, kemudian sosok penuh perban turun dari mobil bersama anak -anak dan istriku. Bukankah itu kau, No?! Ya Allah… bagaimana bisa?!
Aku hendak berlari memelukmu dan anak istriku, namun sepoi angin nakal yang menerbangkan sebagaian kain kafan penutup wajah mayat di sampingku membuatku tersentak, seperti tersengat aliran listrik yang dahsyat.

Terlihat sebuah wajah pucat tanpa darah. Aku kenal wajah itu, sebab tiap kali melihat cermin, wajah itu selalu muncul.
Wajahku sendiri….
Benarkah itu aku?!
Kalau itu adalah aku, lantas aku sendiri siapa?!

Ku tatap lagi wajahmu, No. Ada airmata di sana. Ku peluk anak dan istriku, namun aku seperti memeluk angin. Ku peluk kau No, tapi mengapa kaupun menjadi angin?! Ku peluk segala, tapi tak tergapai..

Ada apa dengan semua ini, No?! Mengapa semua menjadi angin??!***

26 Juni 2010

0 komentar: