ENDORSMENT DAN JUGA RESENSI SCTHB
Ini novel yang memukau. Akhi Dirman mampu menggali latar etnik Bima dengan bagus dan lembut.
(Ahmad Tohari, Sastrawan)
Dirman menulis novelnya dengan bahasa yang indah, jernih dan puitik. Semoga maju jaya dan menjadi penulis produktif dan bermutu.(Puan. Siti Aisah Murad, sastrawan, Jabatan DPB Kuala Lumpur, Malaysia)
Moga kekal mencintai ilmu dan terus intim dengan buku. Teruslah perjuangan menegakkan KALIMATULLAH, Dirman!
(Zaid Akhtar, Novelis Malaysia)
Pada usia relatif muda, Akhi Dirman telah berusaha menggarap karya yang cukup berarti. Sikapnya yang konsisten dan rendah hati dalam berkesenian layak dihormati. Bila bertahan dengan keteguhan dan tak sialu, ia merupakan segelintir harapan yang tersisa untuk bangkit bersama dan mewujudkan impian generasinya.
(N. Marewo, Sastrawan tinggal di Bima)
Akhi Dirman, anugerah tak ternilai kebanggan FLP NTB. Semoga novel yang sangat menyentuh ini menjadi satu babak yang indah dari rentetan dakwah lewat pena berikutnya. Terus ekspos Bima tercinta dalam karya...
(Gun Emzi Azzam, Divisi PSDM FLP NTB)
Dirman, lu keren banget! Novel lu menyentuh dan bikin gue terharu banget! Yang lebih keren, lu mampu menulis novel lu dalam bentuk skenario film, memproduksi dengan biaya sendiri, menciptakan dan menyanyikan lagu soundtrack, juga.... menjadi pemain! Gue kagum ma lu, Fren! Keren...!!!
(Fauzy, direktur FOSSCOM Multimedia)
Pengambaran yang begitu hidup dan nyata. Berkali – kali saya tak kuasa menahan air mata membacanya. Saya seolah bias merasakan indahnya Bima dan seolah – olah saya tidak sedang membaca, tapi sedang menyaksikan sebuah film kehidupan.
(Juni N. Lukmansyah, Facebooker)
* * *
DIRMAN MELUKIS CINTA
Oleh : Emzy Azzam
(Penulis adalah PSDM FLP NTB, cerpenis)
Judul : Sebab Cinta Tak Harus Berkata
Genre : Novel literatur
Penulis : Akhi Dirman Al-Amin
Penerbit : Genta Press, Yogyakarta, 2008
Tebal : 140 Halaman, 12 x 19 cm
Apa yang akan pembaca bayangkan dari cerita Wadu Ntanda Rahi? Saya yakin jawaban anda tidak akan jauh dari kesetiaan cinta yang begitu mengagumkan dari seorang istri. Cinta dan kesetiaan Nggini yang begitu besar pada Nggusu benar – benar teraktualisasi secara nyata sampai – sampai dia rela menjadi batu untuk menunggu Nggusu yang merantau ke Gowa. Kesetiaan yang sama akan anda dapatkan dari La Hawa dalam novel Sebab Cinta Tak Harus Berkata karya Akhi Dirman Al – Amin. Penulis yang lahir dan besar di Bima dengan jam terbang cukup tinggi ini, benar – benar menuangkan segala hal yang ditangkap oleh mata dan hatinya tentang Bima dalam novel ini. Kalau anda penikmat novel Ayat – Ayat Cinta dan menemukan Mesir yang sebenarnya dalam novel itu. Bukan merupakan hal yang aneh karena memang penulisnya pernah begitu akrab dengan Mesir. Begitu juga dengan novel ini anda akan benar – benar melihat Bima tempo doeloe di dalam lembar demi lembarnya. Wanita – wanita Bima dengan rimpu mpida-nya, gadis – gadis yang ‘hidup’ di jompa untuk melindunginya dari kenakalan mata pria, sore yang tiada pernah lepas dari suara – suara mengaji anak – anak di surau dan masjid.
Apa  yang akan anda  dapatkan dari membaca novel  setebal 140 halaman ini?  Selain penggambaran  Bima yang begitu nyata,  jalinan kisah yang begitu  indah dan  mengharukan, ini merupakan salah  satu kelebihan Akhi Dirman  dalam tiap  novel dan cerpennya yang juga  diakui oleh beberapa pengarang  ternama  seperti Ahmad Tohari, Helvy  Tiana Rosa dan Pipiet Senja, benar  – benar  akan menghanyutkan kita  ketika akan merasakan kepedihan hati  La Hawa  yang demi cintanya kepada  La Hami diusir oleh Ama-nya. Seolah  belum  cukup Hawa masih harus  dengan rela melepaskan La Hami suaminya  untuk  merantau ke Gowa demi  masa depan anak yang sedang dikandungnya.  Benar –  benar berat  penderitaan La Hawa sampai anaknya lahir dan  menginjak usia  remaja  sekalipun dia tidak pernah merasakan kehangatan  keluarga yang  lengkap  karena La Hami tidak pernah pulang setelah itu.  Pun ketika demi   memenuhi harapan anaknya melihat wajah laki – laki yang  menitiskan  darah  dalam tubuhnya, dia harus merelakan anaknya ke Gowa  untuk hal  itu. Yang  untuk itu pula Hawa harus membayar mahal karena  sekali lagi  untuk  kesekian kalinya dia harus mengalami kehilangan orang  yang  begitu  berarti dalam hidupnya. Keharuan demikian kuat mengalir  dalam  novel ini.
Dan yang paling mengagumkan dari semua itu adalah seluruh jalinan cerita dibingkai dengan indah lewat tutur yang begitu puitis. Keindahan kata – kata dan jalinan cerita yang mengalir begitu lancar menjadi daya tarik yang begitu memikat dari novel ini, khas Dirman. Anda tidak hanya akan terpana dengan alur kisah yang demikian menyentuh, tapi juga lewat narasi – narasi yang padat dan puitis. Kepiawaian Dirman dalam menyusun kalimat demi kalimat dalam novel ini patut diacungin jempol. Perhatikanlah salah satu narasi dalam novel ini,
Ia tertawa sendiri dan menunjuk bintang yang dirasanya paling terang. Di sana, ia seolah melihat Umar. Melihat Hami. Melihat Ama-nya yang dengan mata merah memahat benci. Melihat mata Ina yang basah, menangisi perpisahan yang begitu perihkan dada. Melihat masa – masa remaja yang begitu ingin diulanginya kembali. Melihat Ali dan Mida yang tersenyum tulus kepadanya. Melihat Abah, tuan guru Abdullah, yang mengajarinya kehidupan dengan cinta. Melihat api yang menjilat langit. Melihat beberapa orang bermain gantao dengan suara gendang dan alat – alat musik lainnya yang bersenandung hingar. (hal 15)
Seperti apakah cinta? Apakah rasanya cinta? Maniskah? Asin? Atau… pahit? Seperti apakah parasnya? Apakah seperti matahari yang kemilaunya membuat mata silau? Apakah seperti angin yang membelai dengan kesejukan yang nyalang? Apakah seperti bintang yang sinarnya terangi gulita?. Jika ada yang bertanya padamu tentang cinta, Tak perlu bingung! Jawablah dengan apa saja. Sebab cinta adalah matahari. Adalah angin. Adalah bintang. Adalah segala. Semua ada karena cinta; Aku, kau, mereka, kita. (Hal 35)
Saya sempat bingung tapi pada akhirnya sedikit kagum dengan daya kreatifitas pengarang mengenalkan tokoh La Hami dengan La Hawa dalam novel ini. Penceritaan dari sudut pandang orang ketiga sejak awal novel tiba – tiba berubah menjadi penceritaan dari sudut pandang orang pertama ketika masuk bab pengenalan dua tokoh sentral novel ini. Dan dengan hal itu pengarang berhasil membuat pembaca mengenal La Hami dan La Hawa dengan sangat baik karena memang kita akan mendengarkan langsung dari mulut mereka. Benar – benar jenius kalau dalam pandangan saya.Ibarat pepatah tiada gading yang tidak retak, sayapun menemukan beberapa titik ‘cacat’ yang ‘menodai’ kedahsyatan novel ini. Sedikit kemiripan kisah dalam beberapa fragmen dari novel ini dengan legenda Wadu Ntanda Rahi menjadi catatan pertama saya. Entah saya harus menyebut ini sebagai kekurangan atau kelebihan. Bagaimanapun Watu Ntanda Rahi adalah legenda yang begitu melekat kuat dalam kehidupan masyarakat Bima. Ketika ada satu karya yang terinspirasi dari suatu karya yang begitu fenomenal, walaupun itu cuma dalam bagian yang begitu kecil, tetap saja orang akan mengaitkan dengannya. Cara penyampaian yang berbeda bisa dikatakan telah sedikit menyelamatkan novel ini dari hal tersebut.
Sebagai penutup, bagaimanapun juga terlepas dari kelebihan dan kekurangan novel ini, kita sebagai dou Mbojo harus berbangga hati karena telah lahir lagi seorang anak Bima yang lewat kekreatifannya telah berhasil membuat Bima dikenal oleh sastrawan kaliber nasional maupun internasional setelah sebelumnya beberapa dari putra kebanggaan dana Mbojo telah membuka jalan ke arah itu.
Bravo Akhi Dirman Al – Amin, lewat goresan penamu tetaplah menjadi cahaya yang membuka mata dunia akan dana Mbojo yang kita cintai
TERTARIK?
DAN SUSAH MENDAPATKAN DI TOKO BUKU?
BELI ONLINE SAJA, GRATIS TANDA TANGAN ASLI PENULISNYA! HAHAHAHA... LEBAYYYYYYY...
CARANYA?
Transfer sejumlah harga buku + ongkos kirim (Rp. 30.000/buku) ke Bank Mumalat Cabang Bima Norek 912 1491699 An. Akhi Dirman Al-Amin. GAMPANG BANGET KAN?!
JANGAN LUPA 'TITIP' ALAMAT DI INBOKS YA...
Ini novel yang memukau. Akhi Dirman mampu menggali latar etnik Bima dengan bagus dan lembut.
(Ahmad Tohari, Sastrawan)
Dirman menulis novelnya dengan bahasa yang indah, jernih dan puitik. Semoga maju jaya dan menjadi penulis produktif dan bermutu.(Puan. Siti Aisah Murad, sastrawan, Jabatan DPB Kuala Lumpur, Malaysia)
Moga kekal mencintai ilmu dan terus intim dengan buku. Teruslah perjuangan menegakkan KALIMATULLAH, Dirman!
(Zaid Akhtar, Novelis Malaysia)
Pada usia relatif muda, Akhi Dirman telah berusaha menggarap karya yang cukup berarti. Sikapnya yang konsisten dan rendah hati dalam berkesenian layak dihormati. Bila bertahan dengan keteguhan dan tak sialu, ia merupakan segelintir harapan yang tersisa untuk bangkit bersama dan mewujudkan impian generasinya.
(N. Marewo, Sastrawan tinggal di Bima)
Akhi Dirman, anugerah tak ternilai kebanggan FLP NTB. Semoga novel yang sangat menyentuh ini menjadi satu babak yang indah dari rentetan dakwah lewat pena berikutnya. Terus ekspos Bima tercinta dalam karya...
(Gun Emzi Azzam, Divisi PSDM FLP NTB)
Dirman, lu keren banget! Novel lu menyentuh dan bikin gue terharu banget! Yang lebih keren, lu mampu menulis novel lu dalam bentuk skenario film, memproduksi dengan biaya sendiri, menciptakan dan menyanyikan lagu soundtrack, juga.... menjadi pemain! Gue kagum ma lu, Fren! Keren...!!!
(Fauzy, direktur FOSSCOM Multimedia)
Pengambaran yang begitu hidup dan nyata. Berkali – kali saya tak kuasa menahan air mata membacanya. Saya seolah bias merasakan indahnya Bima dan seolah – olah saya tidak sedang membaca, tapi sedang menyaksikan sebuah film kehidupan.
(Juni N. Lukmansyah, Facebooker)
* * *
DIRMAN MELUKIS CINTA
Oleh : Emzy Azzam
(Penulis adalah PSDM FLP NTB, cerpenis)
Judul : Sebab Cinta Tak Harus Berkata
Genre : Novel literatur
Penulis : Akhi Dirman Al-Amin
Penerbit : Genta Press, Yogyakarta, 2008
Tebal : 140 Halaman, 12 x 19 cm
Apa yang akan pembaca bayangkan dari cerita Wadu Ntanda Rahi? Saya yakin jawaban anda tidak akan jauh dari kesetiaan cinta yang begitu mengagumkan dari seorang istri. Cinta dan kesetiaan Nggini yang begitu besar pada Nggusu benar – benar teraktualisasi secara nyata sampai – sampai dia rela menjadi batu untuk menunggu Nggusu yang merantau ke Gowa. Kesetiaan yang sama akan anda dapatkan dari La Hawa dalam novel Sebab Cinta Tak Harus Berkata karya Akhi Dirman Al – Amin. Penulis yang lahir dan besar di Bima dengan jam terbang cukup tinggi ini, benar – benar menuangkan segala hal yang ditangkap oleh mata dan hatinya tentang Bima dalam novel ini. Kalau anda penikmat novel Ayat – Ayat Cinta dan menemukan Mesir yang sebenarnya dalam novel itu. Bukan merupakan hal yang aneh karena memang penulisnya pernah begitu akrab dengan Mesir. Begitu juga dengan novel ini anda akan benar – benar melihat Bima tempo doeloe di dalam lembar demi lembarnya. Wanita – wanita Bima dengan rimpu mpida-nya, gadis – gadis yang ‘hidup’ di jompa untuk melindunginya dari kenakalan mata pria, sore yang tiada pernah lepas dari suara – suara mengaji anak – anak di surau dan masjid.
![]()  | 
| Bersama Ahmad Tohari & Erlis Mujiningsih | 
Dan yang paling mengagumkan dari semua itu adalah seluruh jalinan cerita dibingkai dengan indah lewat tutur yang begitu puitis. Keindahan kata – kata dan jalinan cerita yang mengalir begitu lancar menjadi daya tarik yang begitu memikat dari novel ini, khas Dirman. Anda tidak hanya akan terpana dengan alur kisah yang demikian menyentuh, tapi juga lewat narasi – narasi yang padat dan puitis. Kepiawaian Dirman dalam menyusun kalimat demi kalimat dalam novel ini patut diacungin jempol. Perhatikanlah salah satu narasi dalam novel ini,
Ia tertawa sendiri dan menunjuk bintang yang dirasanya paling terang. Di sana, ia seolah melihat Umar. Melihat Hami. Melihat Ama-nya yang dengan mata merah memahat benci. Melihat mata Ina yang basah, menangisi perpisahan yang begitu perihkan dada. Melihat masa – masa remaja yang begitu ingin diulanginya kembali. Melihat Ali dan Mida yang tersenyum tulus kepadanya. Melihat Abah, tuan guru Abdullah, yang mengajarinya kehidupan dengan cinta. Melihat api yang menjilat langit. Melihat beberapa orang bermain gantao dengan suara gendang dan alat – alat musik lainnya yang bersenandung hingar. (hal 15)
Seperti apakah cinta? Apakah rasanya cinta? Maniskah? Asin? Atau… pahit? Seperti apakah parasnya? Apakah seperti matahari yang kemilaunya membuat mata silau? Apakah seperti angin yang membelai dengan kesejukan yang nyalang? Apakah seperti bintang yang sinarnya terangi gulita?. Jika ada yang bertanya padamu tentang cinta, Tak perlu bingung! Jawablah dengan apa saja. Sebab cinta adalah matahari. Adalah angin. Adalah bintang. Adalah segala. Semua ada karena cinta; Aku, kau, mereka, kita. (Hal 35)
Saya sempat bingung tapi pada akhirnya sedikit kagum dengan daya kreatifitas pengarang mengenalkan tokoh La Hami dengan La Hawa dalam novel ini. Penceritaan dari sudut pandang orang ketiga sejak awal novel tiba – tiba berubah menjadi penceritaan dari sudut pandang orang pertama ketika masuk bab pengenalan dua tokoh sentral novel ini. Dan dengan hal itu pengarang berhasil membuat pembaca mengenal La Hami dan La Hawa dengan sangat baik karena memang kita akan mendengarkan langsung dari mulut mereka. Benar – benar jenius kalau dalam pandangan saya.Ibarat pepatah tiada gading yang tidak retak, sayapun menemukan beberapa titik ‘cacat’ yang ‘menodai’ kedahsyatan novel ini. Sedikit kemiripan kisah dalam beberapa fragmen dari novel ini dengan legenda Wadu Ntanda Rahi menjadi catatan pertama saya. Entah saya harus menyebut ini sebagai kekurangan atau kelebihan. Bagaimanapun Watu Ntanda Rahi adalah legenda yang begitu melekat kuat dalam kehidupan masyarakat Bima. Ketika ada satu karya yang terinspirasi dari suatu karya yang begitu fenomenal, walaupun itu cuma dalam bagian yang begitu kecil, tetap saja orang akan mengaitkan dengannya. Cara penyampaian yang berbeda bisa dikatakan telah sedikit menyelamatkan novel ini dari hal tersebut.
Sebagai penutup, bagaimanapun juga terlepas dari kelebihan dan kekurangan novel ini, kita sebagai dou Mbojo harus berbangga hati karena telah lahir lagi seorang anak Bima yang lewat kekreatifannya telah berhasil membuat Bima dikenal oleh sastrawan kaliber nasional maupun internasional setelah sebelumnya beberapa dari putra kebanggaan dana Mbojo telah membuka jalan ke arah itu.
Bravo Akhi Dirman Al – Amin, lewat goresan penamu tetaplah menjadi cahaya yang membuka mata dunia akan dana Mbojo yang kita cintai
TERTARIK?
DAN SUSAH MENDAPATKAN DI TOKO BUKU?
BELI ONLINE SAJA, GRATIS TANDA TANGAN ASLI PENULISNYA! HAHAHAHA... LEBAYYYYYYY...
CARANYA?
Transfer sejumlah harga buku + ongkos kirim (Rp. 30.000/buku) ke Bank Mumalat Cabang Bima Norek 912 1491699 An. Akhi Dirman Al-Amin. GAMPANG BANGET KAN?!
JANGAN LUPA 'TITIP' ALAMAT DI INBOKS YA...




3 komentar:
InsyaAllah nanti sempetin cari ini Novel...pengen baca
Mieny :
makasih ya...
semoga ketemu
Luar biasa
Posting Komentar