Minggu, 20 Juni 2010

PULANG (Cerpen)



Berarak-arak burung-burung kembali ke sarangnya seiring malam pekak yang menyelimuti mayapada. Dinginnya udara yang menusuk tulang semakin membenamkan lelaki itu dalam balutan selimut kusamnya.
Sunyi.

Bulan sabit berlari tak tentu rimba.
Bintang-bintang bersembunyi di balik awan.
Malam semakin sepi. Semakin sunyi. Lelaki itu merasa semakin sendiri. Semakin hampa. Hanya suara jangkrik dan lolongan anjing malam yang mengantarkan lelapnya.

Lelap?

Apakah ia pernah merasakan arti lelap? Arti mimpi?

Tidak! Tidak begitu. Ia tak pernah lelap, sebab kelampauan selalu membayangi ke sudut manapun ia melangkah. Perasaan bersalah, tangisan-tangisan itu, darah yang membanjir membasahi negeri.
Ah.
Sesungguhnya ia tak pernah lelap, sebab kelampauan memaksa mata lelahnya agar selalu terbuka jalang dan setiap saat menguncurkan airmata nyeri membayangkan siksa yang menantinya kelak.
Apakah hukumannya bagi seorang penghianat? Bagi seorang pembunuh? Nerakapun rasanya terlalu VIP. Tapi…, bagaimana bila pembunuhan itu bukan dilakukan tangannya?
Ah.
Telah berapa ratus nyawa saudaranya yang melayang akibatnya? Padahal apa salah mereka?
Lelaki itu memandang langit. Kelam…, seperti hatinya.
“Tidak anakku…,tidak ada kesalahan yang tak terampuni selama kau benar-benar mau bertaubat kepada Allah dan meminta maaf.” Kata Kyai Ahmad, seorang mubaliq terkenal, ketika lelaki itu mengadu.
“Pada siapa saya harus meminta maaf, Kyai…?”
“Tentunya pada Allah yang maha pengampun dan pada orang-orang yang kau sakiti hatinya…”
Lelaki itu memandang langit dengan mata lelah. Kelelahan yang teramat sangat. Dia tahu Allah maha pengampun dan mau memaafkan dang mengampuni salah dan khilaf hamba-hambanya, tapi… bagaimana dengan orang-orang itu? Kemana harus dicarinya? Atau… Apakah mereka masih hidup? Bibirnya bergetar takkala mengucapkan kalimat-kalimat patah…
“Tak mungkin… tak mungkin,Kyai. Dosa saya tak terampuni… Dosa saya tak terampuni…” Sendu ucapan-ucapannya bergulir. Lelaki itu menutup wajahnya dengan kelopak tangannya.
“Mengapa engkau berkata demikian, anakku?!”
“Bagaimana saya bisa meminta maaf pada orang-orang itu, sedangkan…”
Kyai Ahmad memandang Lelaki itu dengan segudang tanda tanya. Lelaki itu menunduk. Airmatanya menguncur tak terbendung. Menitik satu-satu di wajahnya, ketika ia menegadahkan wajah…

“Sayalah provokator itu, Kyai..” Ucapnya. Terbata-bata.
Lagi – Lelaki itu memandang langit. Mencari-cari yang tak tergapai. Hilang. Airmatanya berkejaran di pipinya, membasahi rindunya.
Seandainya waktu bisa diulang, ingin ditarik-tariknya waktu yang beredar. Ingin dibenahinya segala dosa. Tapi… adakah waktu bisa diulang? Hari ini tetaplah hari ini, dan hari esok adalah hari esok jua. Tak berubah… dan tak akan kembali.

Dengan tangan gemetar, lelaki itu menghapus airmata yang mengalir di pipinya. Matanya teramat lelah dan lelah. Berkali-kali dicarinya wajah Allah dan orang-orang itu di langit, tapi tak ada. Hanya burung-burung yang melintasi cakrawala yang ditemuinya.

Hidupnya tambah sepi
Tambah hampa
Malam apalagi
Ia memekik ngeri
Dicekam kesunyian kamarnya.

* * *
Beberapa tahun yang lalu…

Lelaki muda, dengan langkah gamang membimbing perempuan tua. Matanya kabur terpancang dalam muka yang pucat, jauh lebih pucat dari perempuan tua yang kelihatan sakit-sakitan dengan batuk yang menggelegar. Menambah cekung dan tirus wajahnya yang menonjolkan tulang-tulang rahang.
Malang baginya. Malang. Duka-duka itu menerobos hidupnya tanpa ampun. Tanpa permisi.
Setahun yang lalu suaminya meningal tanpa meningalkan pesan atau sekedar warisan untuk kelangsungan hidupnya dan anaknya.

Warisan?!
Warisan macam apa?!
Apakah penderitaan bisa dinamakan warisan?! Apakah utang yang menumpuk bisa dimaknai warisan?! Apakah rumah yang terpaksa dijual bisa dinamakan warisan?! Apakah anaknya yang terpaksa meningalkan bangku kuliah karena tak bisa membayar uang kuliah bisa dinamakan warisan?! Apakah penghinaan dari saudara-saudaranya bisa dinamakan warisan?! Warisan?! Warisan macam apa?
Perempuan itu diusir dan tidak diakui anak oleh kedua orang tuanya, karena keinginan yang kuat untuk masuk Islam. Ditinggalkannya kemewahan dunia untuk menggapai cahaya Illahi, sampai seorang pangeran melamarnya.
Pangeran?!
Lelaki miskin itu?
Tapi wanita itu tak perduli, dan tak menangis sedikitpun. Tak menyesal.
Tapi, saat ini, betapa kuat perasaan itu menindih hatinya. Dia ingin menangis…
Baru saja ia ke rumah sakit, tapi bukan obat yang didapatkannya, melainkan umpatan yang menyakitkan telinga…
“Ini rumah sakit, bukan penampungan orang yang hampir mati!”
Lelaki muda di sampingnya terbakar emosi yang meletup-letup di matanya. Rahangnya mengeras, dihimpit amarah yang memuncak.
“Begini kalian memperlakukan orang yang hampir mati?!” Teriaknya. Kesakitan menjalar ke jantungnya.
“Apa urusannya denganmu?” Suster itu memandang sinis.
“Catat nama saya suster; Bagas!… suatu saat saya akan kembali!”
Suster itu meludah di lantai, seolah jijik!

***
Mendung kelabu memeluk Indonesia. Tajung Priok berdarah, aceh berdarah, Poso berdarah, Surabaya mengamuk, Timur Timor mengamuk, NTB ikut-ikutan mengamuk. Cut Tari menangis, Tagor menangis, Ali menangis, busung lapar mewabah.
Indonesia berdarah…, kemanapun melangkah amis darah tercium membuat perut menjadi mual.
Lelaki itu, Bagas, telah berusaha mencari pinjaman untuk pengobatan ibunya. Tapi siapa yang bisa membantu? Reformasi hanyalah membuat rakyat kecil repot mencari nasi! Semakin tertindas. Ketakutan.

Api harapan menyala dalam hatinya, sekalipun hanya berkedip kecil ibarat lilin di tengah malam buta yang tercekik lambat-lambat oleh gulita, ketika seorang lelaki dengan pakaian licin yang necis – dan tentu saja bermerek—berdiri di hadapannya. Lelaki itu Arman, temanya di fakultas hukum dulu, meskipun Bagas hanya nembus sampai semester empat, menawarkan setumpuk uang…
Api harapan itu semakin kuat menyala. Berkobar-kobar, namun padam pelan-pelan ketika ia iangat Allah. Tapi…. bagaimana dengan ibu?!”

“Tidak sobat… aku adalah seorang putra bangsa sejati. Aku cinta Indonesia. Dan aku tak akan mengotori cintaku, apalagi menjualnya, hanya demi kepentingan perut. Hanya hewan yang melakukan itu,sobat!”

Arman tertawa kecil, tanpa sedikitpun merasa tersinggung.”Apa yang kau dapat dengan cinta itu, Gas?! Apa?! Sadar,Gas! Apa yang diberikan Indonesia untukmu? Cacian? Makian? … ayolah, kawan, bergabunglah dengan kami. Tak akan ada lagi yang menghinamu. Ibumu akan sembuh. Kalian akan hidup bahagia. Kamu bisa melakukan apapun yang kau mau, bisa membeli apapun yang ingin kau beli.dan satu lagi…, meskipun aku berkerja seperti ini, aku masih punya cinta pada negeri ini. Aku bantu orang-orang miskin, aku peluk anak-anak yatim, aku…”

“Diam! Diamlah! Anjing sepertimu tak tahu cara mencintai. Engkau hanya bisa menggonggong, menjilat, dan sesekali menggigit. Aku tahu orang seperti apa kamu ini!”

“Jadi engkau tak tertarik?!” Arman memainkan lembar-lembar rupiah di tangannya.
Bagas meludah, kemudian pergi. Mengumpat-ngumpat. Arman memandangnya dengan dongkol.
Tapi keesokah harinya, dengan bantuan kartu nama luks yang diselipkan Arman di kantung bajunya, bagas muncul di depan rumah Arman. Untunglah ia disambut langsung oleh Arman, bukan anjingnya!

“Ada apa, sobat?” Katanya, menyapa.
“Demi ibu,… aku akan menjadi penghianat!”
Arman tertawa, memeluk Bagas. Bagaspun ikut tertawa… diantara airmata yang meluncur di pipinya.

***

Luka semakin menganga. Perih. Indonesia semakin tenggelam dalam lautan airmata anak bangsa, berbaur darah yang tak kunjung mengering.

Nyawa-nyawa melayang sia-sia. Pertikaian semakin berkobar. Rakyat jelata semakin menderita. Aceh semakin parah, Ambon semakin parah, NTB sudah mulai tenang, namun kekacauan lain menjelma berjuta. Timor-imur telah membentuk negara sendiri. Indonesia semakin berduka, Tagor berduka,Ali berduka, Bocah-bocah kurus meningal kekurangan makanan. Indonesia semakin berduka, semakin muram.

Bagas tertawa sumbang. Gedung megah telah ditempatinya, rumah sakit yang dulu mengusirnya telah dibakar, ibunya dimasukkan ke rumah sakit terkenal.

Apa yang tak bisa dibelinya kini?

Anak-anak yatim dibantunya, orang-orang jompo ditolongnya, fakir miskin ditengoknya.
Tapi… mengapa galau itu bertubi-tubi menyerangnya?

Di merasa seperti binatang, seperti hewan. Seperti seekor musang hina yang memakai bulu domba.
Di luar negeri dia rusak nama Indonesia, dia jual nama Indonesia. Dia sulut permusuhan antara satu partai dengan partai lainnya, antara satu daerah dengan daerah lainnya, antara agama dengan agama, antara penduduk asli dengan pendatang.

Apakah semua dosa itu terhapus dengan menyantuni kaum duafa?

Majelis taklim didatanginya. Ceramah-ceramah agama didebgarkannya. Dan semua selalu berakhir di ujung sesal. Sesal yang dalam.

Seandainya bisa memilih… ia ingin seperti dulu ; miskin tapi beriman. Tapi bagaiman dengan ibu? Bukankah ini semua demi ibu? Apakah ibu senang?… sakitnya tak kunjung sembuh…
Handphone kecil di sakunya berbunyi…,

“Ya.. halo… betul, saya Bagas. Apa?! Terbakar? Ibu… ibu… bagaimana dengan ibu saya?… ya… ya… ya… saya segera ke sana…”

Bagas panik, baru saja dia mendapat kabar, bahwa rumah sakit tempat ibunya dirawat , terbakar akibat amuk massa yang tak terkontrol.
Ah.
Inikah hukuman Allah itu?

***

Langkahnya goyah… berjalan sendiri… ada kepiluan yang tergores di mata lelahnya. Rumah sakit itu telah berubah menjadi puing-puing pecah hanya dalam hitungan kejapan mata. Tapi… dimana ibu? Dimana ibu? Dimana? Apalah artinya hidup ini tanpa orang yang dikasihaninya itu? Tanpa ibu!
Lelaki itu mencakar-cakar abu yang masih panas. Tanganya melepuh. Tapi seakan tak perduli, lelaki itu terus mencakar, terus mencari. Airmata berkejaran di pipinya.

“Ibu… dimana ibu… dimana ibu…. Ibu! Iiiiiiiibbbbbuuu!” teriaknya. Membelah langit. Berulang-ulang.
Di ujung lelahnya, lelaki itu tersungkur. Memekik ia berdiri, kemudian tertwa dan terus trtawa, berlari-lari tanpa arah dan terus berlari.

Sampai anak-anak kecil melemparnya dengan kerikil, samapai orang-orang meludahi dengan jijik mukanya yang penuh luka. Dia terus berlari, terus tertawa.
Hanya satu yang membuatnya berhenti dan menangis… suara muazin yang menggema dan ayat-ayat suci yang nirmala mendengung menembus malam.

Cahaya dari tiap sudut .Mendekat jua.
Dalam ketakutan menanti
Ia menyebut satu nama
Terkejut ia terduduk,
Siapa memangil itu ?
Ah,
Lemah lesu ia tersedu ; Ibu! Ibu!
***
Dorowila, Mei 2001
Keterangan:
Syair adalah puisi ‘Sendiri’-nya Khairil anwar.

Ini termasuk dalam cerpen2 pertama yang aku tulis semasa SMA. Aku edit ulang tahun 2001 dan alhamdulillah dibukukan dalam kumpulan cerpen pertamaku, "Negeri Air Mata"

Sabtu, 19 Juni 2010

BELAJAR DARI ANAK - ANAK KORBAN PERANG (TURTLES CAN FLY)


Penulis dan Sutradara :
Bhaman Ghobadi

Pemeran :
Agrin : Avaz Latif
Satellite : Soran Ebrahim
Hengov : Hiresh Feysal Rahman
Rega : Abdol Rahman Karim
Pasheo : Sadaam Hossein Feysal
Hangao : Hiresh Feysal Rahman
Shirko : Ajil Zibari




Sebelumnya, di status saya, terjadi perbincangan yang serius dengan mbak Qonita Musa (penulis senior) yang sebelumnya hanya saya jumpai lewat karya2nya yag dimuat di berbagai majalah ibukota. (Alhamdulilah lewat FB bisa bertemu dengannya). Dalam komen2 singkat itulah, Mbak Qoni menyarankan saya untuk menonton Turtles Can Fly.

Karena rasa penasaran yang dalam. Apalagi saya sgt menyukai film2 bermutu, Saya menjelajahi pasar mencari VCD film ini, tapi apa boleh buat, di setiap toko VCD tak satupun saya jumpai film ini. Maka pilihan terakhir yang saya tempuh, mendownload di Youtube :). Alhamdulillah, dlm waktu hampir 14 jam (soalnya saya pake modem Flexy CDMA yang kadang sinyalnya buruk), film inipun berhasil didownload. Alhamdulillah...

TURTLES CAN FLY merupakan film pertama tentang perang di Iraq masa Invasi Amerika dibawah Presiden George W. Bush. Bolehlah dibilang saya adalah pecinta film-film Iran, sebab saya menyukai film-film yang natural dan bermuatan filosofi. Dan seperti film Iran lainnya 'Turtles Can Fly' juga menyajikan pengajaran kehidupan secara folosofis tanpa ada kesan menggurui penontonnya. Nah ini yang jarang sekali saya dapat dari film nasional kita, apalagi sinetron.

Film ini memakai alur maju mundur. Dimulai dengan adegan gadis kecil menjatuhkan diri dari sebuah tebing yang curam, film ini bercerita dengan latar belakang sebuah desa 'Iraqi Kurdistan' di perbatasan Iran dan Turkey. Penduduk desa yang dalam suasana perang lebih mementingkan berita ketimbang sajian hiburan di TV. Untuk itulah semua penduduk desa berusaha memasang antena yang paling kuat menangkap gelombang siaran berita di televisi.

Dengan setting tahun 2003 dibawah invasi Amerika, film ini menggambarkan terobsesinya orang-orang dengan berita Internasional yang didapat dari Satelit untuk mendapatkan informasi rencana Amerika kedepan dalam 'menyelamatkan' Iraq.

Seorang anak laki-laki berumur 13 tahun atau tepatnya leader bagi sekumpulan anak-anak yatim-piatu di camp pengungsi, ia dipanggil dengan nama 'Satellite' karena terbiasa menerima job pemasangan antena TV, sekaligus menjadi 'translater berita' bagi penduduk desa disana. Kemudian Satellite juga menerima job pembersihan 'ranjau darat' di daerah itu. Satellite merasa terganggu dengan kehadiran seorang anak laki-laki cacat, kedua tangannya putus, yang juga menerima job pembersihan ranjau yang belum menjadi 'anggota serikat pekerja anak-anak' dibawah pimpinan Satellite. Anak cacat itu bernama Henkov yang juga adalah korban ranjau darat, sehingga kedua tangannya putus. Meski cacat Henkov rupanya ahli sekali menjinakkan ranjau.

Henkov dimata orang lain mempunyai 2 orang adik, yang perempuan Agrin dan adik laki-laki yang masih berumur 1 tahun lebih, Rega. Kemanapun, mereka selalu bertiga. Dan si kecil Rega selalu dalam gendongan Agrin, sesekali digendong oleh Henkov yang meski 'tanpa tangan' namun cukup cekatan menggendong si kecil.

Agrin gadis kecil mungkin umurnya baru 12 tahun, yang terjebak oleh ganasnya perang, kedua orang tuanya terbunuh akibat perang saudara di Iraq, dalam saat yang bersamaan ia mengalami tragedi yang lain, diperkosa beramai-ramai oleh tentara, sehingga pada usia yang sangat muda ia mempunyai anak. Oleh pengungsi lain anak dalam gendongannya itu dikira adiknya. Kehidupan serba sulit, mengungsi dengan anak dan saudara laki-laki yang cacat. Sudah berkali-kali Agrin mencoba bunuh diri karena tidak mampu menahan beban berat hidup. Namun setiap kali dia ingat kakaknya Henkov yang cacat, ia berpikir mampukah ia merawat rega anaknya? Dan ia mengurungkan niat itu. Adegan ketiga anak kecil itu kerap memancing rasa haru.

Agrin yang kehilangan masa kanak-kanak menjadi pembenci anaknya sendiri. Hidupnya diisi dengan kemurungan dan putus asa. Suasana kontradiksi, disaat masyarakat Kurdi memulai lembar baru dan menyambut jatuhnya Saddam, dengan suka-ria mendapatkan souvenir potongan patung-Saddam di ibukota yang dijatuhkan tentara Amerika. Agrin membunuh anaknya dan kemudian ia bunuh diri, dengan menjatuhkan dirinya ke jurang yang dalam. Adegan ini menyentak sekali, membuat para penonton tidak tahan dengan tragedi kematian keduanya yang ditampilkan. Akhir kisah itu sungguh mendendangkan nyanyian yang paling memilukan dan menyayat hati.

Berkali - kali saya menutup mulut saya ketika sampai pada adegan - adegan yang begitu menguras air mata; ketika Agrin diperkosa, ketika Agrin membunuh anaknya yang buta dengan menenggelamkannya ke sebuah danau, atau ketika satelit terkena ranjau ketika membantu anak Agrin.

Beberapa adegan begitu menancap dalam ingatan saya.
Sungguh! Menonton film ini membuat kita semakin merasakan betapa perang menimbulkan traumatik yang sangat dalam, terutama bagi anak-anak. Lantas dimanakah kita menempatkan diri?!

Jangan hanya jadi penonton! Mereka butuh do'a kita! Ada banyak Agrin - Agrin lain yang butuh do'a agar semakin kuat. Agrin - Agrin itu memenuhi bumi Palestina, Bosnia Herzegovina dan berbagai manusia lainnya yang sungguh tak bisa kita lupakan begitu saja. Mereka hanyalah anak kecil, yang 'terjebak' dalam sebuah perang yang membumi hanguskan masa kecil mereka!

Tonton film ini. Dan rasakan dadamu bergetar hebat dan kadang tertawa menyaksikan lelucon yang kanak - kanak, persahabatan sejati dan rasa dendam Agrin yang berdarah - darah... pada masa lalunya!

Salam...



2.32 Am
17 Juni 2010

yang mau download versi penuh, ini linknya
http://video.google.com/videoplay?docid=7835721714320049336#

Minggu, 13 Juni 2010

15 BESAR... SELAMATTTTTT...!!!


Selamat kepada 15 Besar Lomba kisah inspiratif www.anazkia.blogspot.com
Selamat juga untuk ke-89 peserta!
Kalian hebat!!!!

Jumat, 11 Juni 2010

Sebab Cinta Tak Harus Berkata (My Novel)


DIRMAN MELUKIS CINTA
Oleh : Emzy Azzam
(Penulis adalah PSDM FLP NTB, cerpenis)


Judul : Sebab Cinta Tak Harus Berkata
Genre : Novel literatur
Penulis : Akhi Dirman Al-Amin
Penerbit : Genta Press, Yogyakarta, 2008
Tebal : 140 Halaman, 12 x 19 cm
Harga : 23.000

Apa yang akan pembaca bayangkan dari cerita Wadu Ntanda Rahi? Saya yakin jawaban anda tidak akan jauh dari kesetiaan cinta yang begitu mengagumkan dari seorang istri. Cinta dan kesetiaan Nggini yang begitu besar pada Nggusu benar – benar teraktualisasi secara nyata sampai – sampai dia rela menjadi batu untuk menunggu Nggusu yang merantau ke Gowa. Kesetiaan yang sama akan anda dapatkan dari La Hawa dalam novel Sebab Cinta Tak Harus Berkata karya Akhi Dirman Al – Amin. Penulis yang lahir dan besar di Bima dengan jam terbang cukup tinggi ini, benar – benar menuangkan segala hal yang ditangkap oleh mata dan hatinya tentang Bima dalam novel ini. Kalau anda penikmat novel Ayat – Ayat Cinta dan menemukan Mesir yang sebenarnya dalam novel itu. Bukan merupakan hal yang aneh karena memang penulisnya pernah begitu akrab dengan Mesir. Begitu juga dengan novel ini anda akan benar – benar melihat Bima tempo doeloe di dalam lembar demi lembarnya. Wanita – wanita Bima dengan rimpu mpida-nya, gadis – gadis yang ‘hidup’ di jompa untuk melindunginya dari kenakalan mata pria, sore yang tiada pernah lepas dari suara – suara mengaji anak – anak di surau dan masjid.

Apa yang akan anda dapatkan dari membaca novel setebal 140 halaman ini? Selain penggambaran Bima yang begitu nyata, jalinan kisah yang begitu indah dan mengharukan, ini merupakan salah satu kelebihan Akhi Dirman dalam tiap novel dan cerpennya yang juga diakui oleh beberapa pengarang ternama seperti Ahmad Tohari, Helvy Tiana Rosa dan Pipiet Senja, benar – benar akan menghanyutkan kita ketika akan merasakan kepedihan hati La Hawa yang demi cintanya kepada La Hami diusir oleh Ama-nya. Seolah belum cukup Hawa masih harus dengan rela melepaskan La Hami suaminya untuk merantau ke Gowa demi masa depan anak yang sedang dikandungnya. Benar – benar berat penderitaan La Hawa sampai anaknya lahir dan menginjak usia remaja sekalipun dia tidak pernah merasakan kehangatan keluarga yang lengkap karena La Hami tidak pernah pulang setelah itu. Pun ketika demi memenuhi harapan anaknya melihat wajah laki – laki yang menitiskan darah dalam tubuhnya, dia harus merelakan anaknya ke Gowa untuk hal itu. Yang untuk itu pula Hawa harus membayar mahal karena sekali lagi untuk kesekian kalinya dia harus mengalami kehilangan orang yang begitu berarti dalam hidupnya. Keharuan demikian kuat mengalir dalam novel ini.

Dan yang paling mengagumkan dari semua itu adalah seluruh jalinan cerita dibingkai dengan indah lewat tutur yang begitu puitis. Keindahan kata – kata dan jalinan cerita yang mengalir begitu lancar menjadi daya tarik yang begitu memikat dari novel ini, khas Dirman. Anda tidak hanya akan terpana dengan alur kisah yang demikian menyentuh, tapi juga lewat narasi – narasi yang padat dan puitis. Kepiawaian Dirman dalam menyusun kalimat demi kalimat dalam novel ini patut diacungin jempol. Perhatikanlah salah satu narasi dalam novel ini,

Ia tertawa sendiri dan menunjuk bintang yang dirasanya paling terang. Di sana, ia seolah melihat Umar. Melihat Hami. Melihat Ama-nya yang dengan mata merah memahat benci. Melihat mata Ina yang basah, menangisi perpisahan yang begitu perihkan dada. Melihat masa – masa remaja yang begitu ingin diulanginya kembali. Melihat Ali dan Mida yang tersenyum tulus kepadanya. Melihat Abah, tuan guru Abdullah, yang mengajarinya kehidupan dengan cinta. Melihat api yang menjilat langit. Melihat beberapa orang bermain gantao dengan suara gendang dan alat – alat musik lainnya yang bersenandung hingar. (hal 15)

Seperti apakah cinta? Apakah rasanya cinta? Maniskah? Asin? Atau… pahit? Seperti apakah parasnya? Apakah seperti matahari yang kemilaunya membuat mata silau? Apakah seperti angin yang membelai dengan kesejukan yang nyalang? Apakah seperti bintang yang sinarnya terangi gulita?. Jika ada yang bertanya padamu tentang cinta, Tak perlu bingung! Jawablah dengan apa saja. Sebab cinta adalah matahari. Adalah angin. Adalah bintang. Adalah segala. Semua ada karena cinta; Aku, kau, mereka, kita. (Hal 35)

Saya sempat bingung tapi pada akhirnya sedikit kagum dengan daya kreatifitas pengarang mengenalkan tokoh La Hami dengan La Hawa dalam novel ini. Penceritaan dari sudut pandang orang ketiga sejak awal novel tiba – tiba berubah menjadi penceritaan dari sudut pandang orang pertama ketika masuk bab pengenalan dua tokoh sentral novel ini. Dan dengan hal itu pengarang berhasil membuat pembaca mengenal La Hami dan La Hawa dengan sangat baik karena memang kita akan mendengarkan langsung dari mulut mereka. Benar – benar jenius kalau dalam pandangan saya.
Ibarat pepatah tiada gading yang tidak retak, sayapun menemukan beberapa titik ‘cacat’ yang ‘menodai’ kedahsyatan novel ini. Sedikit kemiripan kisah dalam beberapa fragmen dari novel ini dengan legenda Wadu Ntanda Rahi menjadi catatan pertama saya. Entah saya harus menyebut ini sebagai kekurangan atau kelebihan. Bagaimanapun Watu Ntanda Rahi adalah legenda yang begitu melekat kuat dalam kehidupan masyarakat Bima. Ketika ada satu karya yang terinspirasi dari suatu karya yang begitu fenomenal, walaupun itu cuma dalam bagian yang begitu kecil, tetap saja orang akan mengaitkan dengannya. Cara penyampaian yang berbeda bisa dikatakan telah sedikit menyelamatkan novel ini dari hal tersebut.

Sebagai penutup, bagaimanapun juga terlepas dari kelebihan dan kekurangan novel ini, kita sebagai dou Mbojo harus berbangga hati karena telah lahir lagi seorang anak Bima yang lewat kekreatifannya telah berhasil membuat Bima dikenal oleh sastrawan kaliber nasional maupun internasional setelah sebelumnya beberapa dari putra kebanggaan dana Mbojo telah membuka jalan ke arah itu.

Bravo Akhi Dirman Al – Amin, lewat goresan penamu tetaplah menjadi cahaya yang membuka mata dunia akan dana Mbojo yang kita cintai.
***
Inilah beberapa pujian / endorsment untuk novel ini :

Ini novel yang memukau. Akhi Dirman mampu menggali latar etnik Bima dengan bagus dan lembut.
(Ahmad Tohari, Sastrawan)

Dirman menulis novelnya dengan bahasa yang indah, jernih dan puitik. Semoga maju jaya dan menjadi penulis produktif dan bermutu.
(Puan. Siti Aisah Murad, sastrawan, Jabatan DPB Kuala Lumpur, Malaysia)

Dirman adalah semangat. Dan buku ini mencerminkan semangat yang bergolak dalam dirinya untuk selalu menegakkan pena. Warna lokal yang diusungnya semakin memperkuat semangat itu. Karya yang menarik dan akan menginspirasi pembacanya.
(Rahmadiyati Rusdi, CEO LPPH)

Novel yang mengupas tentang dukalara perempuan telah banyak. Tapi Dirman membesutnya dengan konflik adat daerah. Bagus dan menawan!
(Pipiet Senja, Novelis, Tinggal di Depok, Jawa Barat)

Moga kekal mencintai ilmu dan terus intim dengan buku. Teruslah perjuangan menegakkan KALIMATULLAH, Dirman!
(Zaid Akhtar, Novelis Malaysia)

Saya pertama kali bertemu Dirman di acara MASTERA. Saat itu, saya mengenal sosok Dirman sebagai penulis yang masih muda, berbakat dan kreatif. Semakin saya mengenalnya, saya semakin merasakan ‘sesuatu’ dalam dirinya. Sebuah kreativitas yang luar biasa besar. Saya bekata dalam hati saya; anak muda ini luar biasa!
(Sulaiman Tripa, Novelis Aceh)

Akhi Dirman, anugerah tak ternilai kebanggan FLP NTB. Semoga novel yang sangat menyentuh ini menjadi satu babak yang indah dari rentetan dakwah lewat pena berikutnya. Terus ekspos Bima tercinta dalam karya...
(Emzi Azzam, Divisi PSDM FLP NTB)

Dirman, lu keren banget! Novel lu menyentuh dan bikin gue terharu banget! Yang lebih keren, lu mampu menulis novel lu dalam bentuk skenario film, memproduksi dengan biaya sendiri, menciptakan dan menyanyikan lagu soundtrack, juga.... menjadi pemain! Gue kagum ma lu, Fren! Keren...!!!
(Fauzy, direktur FOSSCOM Multimedia)

Senin, 07 Juni 2010

ALHAMDULILLAH JUARA UMUM WSC AKU BISA!


ANTARA SAYA DAN HTR
(ARTI SEBUAH KEMENANGAN)


Saya pertama kali bertemu helvy Tiana Rosa (HTR) waktu saya SMA. Pertemuan yang indah di majalah sastra Horison.

Saat itu, dengan mata yang api dan semangat membara, dia kisahkan tentang Inong, yang terperangkap dalam 'Jaring - jaring Merah' hingga kulitnya melepuh dan berdarah.

Saya sungguh terpaku! Helvy membawa saya ke jaring yang sama. Memerangkapkan saya dalam luka yang sama. Kulit sayapun ikut melepuh ketika jaring2 itu bergerak. darah saya ikut mendidih.

Begitulah Helvy di dunia buku. Selalu menyisakan 'sesuatu'!

Apalagi, ketika dia 'mengutus' Mas gagah bertamu ke rumah saya. Menyalakan cahaya hati saya yang lama padam. Merenungi jalan - jalan panjang yang saya lewati dalam kehidupan saya.

Sampai akhirnya, di sebuah acara di Yogya, saya betul - betul bertemu dengannya. Seperti seorang artis dalam jumpa fans dengan penggemarnya yang saya tonton di televisi. Dia menghampiri saya. Memberikan surprise. Helvy Tiana Rosa membawakan saya makanan kecil dan juga segelas air minum.

Itu adalah pertama kali saya bertemu dengannya. Dan ia telah mengajarkan pelajar pertama untuk saya; Dirman..., jika kau telah ‘besar’, janganlah tinggi hati. Tetaplah mencintai dan rendah hati pada orang – orang sekitarmu. Hehehe...
Saya seolah dihipnotis.

Saya lebih terhipnotis lagi, ketika pada hari ini, AKU BISA! memberikan penghargaan untuk tulisan saya tentang HTR. Alhamdulillah, untuk ketiga kalinya, tulisan saya tentang HTR meraih penghargaan. 2008, 2009 dan 2010 ini. Tiga tahun berturut-turut.

Maka, saya mengganggap kemenangan ini adalah sebuah cinta yang menyala. kemenangan inspirasi yang tak akan mati. kemenangan sebuah ketulusan hati.

masih akan jawab sama jika ada yang bertanya; bagaimana rasanya menang?
saya kutip hasil wawancara saya dengan www.mudataqwa.com beberapa hari yang lalu

Masuk 20 besar, atau apapun bagi saya sebenarnya bukanlah hal yang utama. Yang lebih penting dan selalu saya tanyakan pada diri saya sendiri ketika menyelesaikan setiap tulisan, apakah tulisan saya ‘memberikan sesuatu’ atau hanya sekedar ‘kata-kata indah tanpa makna?’. Saya sadar sekali, ada tanggung jawab besar ketika kita menyampaikan suatu pemikiran lewat tulisan, karena berbeda dengan bahasa lisan, tulisan kita akan abadi. Jadi, bagi saya, kemenangan itu hanyalah bonus spesial untuk saya


Alhamdulillah.... Allah memang punya banyak rahasia dan keajaiban yang satu per satu menyapa kita. Dengan sungguh ajaib. laptop saya sedang rusak berat saat ini, Dia menggantikannya dengan laptop baru dan sebuah kemenangan yang indah :)

INI PENGUMUMAN LENGKAP AKU BISA!

Setelah kompetisi WSC Inspirational berlangsung selama kurang lebih 1 bulan, kami telah mendapatkan pemenang dari The Most Favorite Notes dan The Most Inspiring Notes. Jumlah artikel yang terkumpul adalah sebanyak 403 artikel dengan jumlah peserta sebanyak 346 Peserta.

Karena tingginya antusias dan banyaknya peserta Words Share Contest Inspirational Public Figure, kami memutuskan untuk memberikan hadiah tambahan berupa BlackBerry Gemini 8520 untuk The Most Inspiring Notes (Penilaian Kualitatif). Dengan demikian Total Pemenang The Most Inspiring Notes kami tambahkan menjadi 3 pemenang.

Berikut ini adalah nama-nama pemenang WSC Inspirational Public Figure:

PENILAIAN KUANTITATIF


The Most Favorite Notes:

• Juara I
Nama : Andreas Budi Purwanto Wijaya
Nama Akun Facebook : Andreas Wijaya
Judul tulisan: The Wrights brothers
Comment : 724
Likes = 756

Hadiah: BlackBerry Gemini 8520

• Juara II
Nama : Nella Nurfitriana Sari
Nama Akun Facebook: Neko Tama Chan
Judul tulisan: Amelia Earhart
Comment = 643
Like = 634

Hadiah: HSDPA Modem Wireless Huawei E176

PENILAIAN KUALITATIF


The Most Inspiring Notes:

• Juara I
Nama : Akhi dirman al – amin
Nama Akun Facebook : Akhi Dirman al - amin
Judul tulisan: Helvy Tiana Rosa
Total Nilai: 800
Hadiah: Netbook Elevo

• Juara II
Nama : Tivani Oscar
Nama Akun Facebook : Tivani Oscar
Judul tulisan: Thomas Alva Edison
Total Nilai: 780

Hadiah: BlackBerry Gemini 8520 (*Hadiah tambahan)
• Juara III
Nama : Claudia Sandy Christianti
Nama Akun Facebook : Claudia Clara Sandy Christianti
Judul tulisan: Bunda Theresa
Total Nilai: 770

Hadiah: HSDPA Modem Wireless Huawei E176



Kami mengucapkan Selamat kepada para pemenang yang namanya tercantum diatas, dan kami juga ucapkan terimakasih kepada para peserta lainnya yang telah mengikuti kompetisi ini. Semoga dengan adanya kompetisi ini, semakin banyak orang yang termotivasi dan mendapatkan pengetahuan yang baru dari tokoh-tokoh yang ditulis.


Salam Aku Bisa!


If you want to be successful, find someone who has achieved the results you want and copy what they do and you’ll achieve the same results.

- Tony Robbins


NB:

• Keputusan dewan juri mutlak dan tidak dapat diganggu gugat
• Para pemenang akan dihubungi langsung via telepon oleh admin AKU BISA paling lambat 1 minggu setelah pengumuman pemenang.

Minggu, 06 Juni 2010

SAYA DI WWW.MUDATAKWA.COM


Beberapa waktu yang lalu, tiba - tiba seorang sahabat di FB mewawancarai saya. saya baru tau akhirnya, kalo dia ternyata pengurus salah satu website online.
Akhirnya, meski berbincang lewat online, mengalirkan wawancara jarak jauh. Doooo...
So, Yang ingin tau, bagaimana proses kreatif saya dalam menulis dan berbagi inspirasi, silahkan klik tautan ini ya...

Sabtu, 05 Juni 2010

20 Nominasi Pemenang Penilaian Kualitatif Words Share Contest Inspirational Public Figure


Alhamdulillah. Dapat kabar gembira dari group yag saya ikuti di facebook; AKU BISA!
beberapa waktu yang lalu, saya mengikuti kontes tentang orang2 yang menginspirasi hidup kita. saya menulis tentang Helvy Tiana Rosa dan Thomas Alfa Edison. Alhamdulillah... tulisan saya tentang Helvy Tiana Rosa melenggang ke 20 besar. InsyaAllah pemenag dari lomba ini akan mendapat hadiah sebuha laptop dan akan diumumkan tanggal 7 nanti. doakan moga saya menang. kontes ini diikuti oleh hampir 500 peserta dari Indonesia maupun luar negeri. ini dia pengumuman lengkapnya


20 Nominasi Pemenang Penilaian Kualitatif Words Share Contest Inspirational Public Figure


Setelah melalui perundingan yang panjang.. Akhirnya juri WSC sudah mendapatkan 20 Nominasi Words Share Contest Inspirational Public Figure..

Siapa saja mereka??

Berikut ini kami tampilkan nama-nama 20 Nominasi Pemenang WSC Inspirational Public Figure(disusun berdasarkan abjad dan bukan berdasarkan urutan penilaian)


1. Akhi Dirman Al - Amin - Helvy Tiana Rosa
2. Cindy Wijaya - Nicholas James Vujicic
3. Claudia Clara Sandy Christianti - Bunda Theresa
4. Den Bagoes - Kh. Abdurrahman Wahid
5. Diah Utami Lestari - Eko Ramaditya Adikara
6. Dior Bintang - Budi Suhardi
7. Frencia Ursuline - Bill Gates
8. Istiawan Ismail - Mahmud S.Pd
9. Karina Adistia - Donald John Trump
10. Lia Zuhriansyah - Jenderal Sudirman
11. Megatala Hari Moekti - Butet Manurung
12. Puji Hastuti - Hellen Keller
13. Qonita Musa - Victor Frankl
14. Sukimah Yono - He Ah Lee
15. Randi Eka Yonida - Rosiana Silalahi
16. Randie A Ramlie - Mahatma Gandhi
17. Rudy Dwi Kurniawan - Oprah Winfrey
18. Tivani Oscar - Thomas Alfa Edison
19. Viona Patricia - Budhi Dharmo
20. Yanuar Ridho - Mahmud Ahmadinejad

ini dia naskahku yang lolos



WSC Inspirational Public Figure: Helvy Tiana Rosa (Akhi Dirman Al-Amin)

Words Share Contest Inspirational Public Figure

Pengirim: Akhi Dirman Al-Amin


Matahari tak pernah berjanji

Untuk menyapa pagimu
Dan meninggalkan kau dalam suram senja
Hanya abdi tulus
Tanpa harap setitik balas
Sebab matahari tak pernah ingkar
Akan suci takdir

(Janji Matahari – Akhi Dirman Al-Amin)

***


Apakah yang saya tahu tentang Helvy?!


Dulu, ketika pertama kali ‘berkenalan’ dengan Annida, membaca tulisan – tulisannya adalah sebuah energi tersendiri bagi saya. Saya seolah musafir yang menemukan oase di tengah padang tandus.

Karena itulah, saya selalu ‘memburu’ buku-bukunya dan membayangkan, bahwa suatu saat, sayapun akan bisa menulis sebagus itu, sebagai jalan dakwah saya.

Helvy Tiana Rosa adalah penulis wanita Indonesia kelahiran Medan, 2 April 1970. Dia merupakan pendiri dan Ketua Umum Forum Lingkar Pena/FLP (1997/2005). Berangkat dari forum kepenulisan inilah pamornya di kancah sastra semakin bertambah dan merambah ke berbagai pelosok bumi pertiwi juga di berbagai mancanegara. Karena kegiatan ini The Straits Times dan Koran Tempo menyebutnya sebagai Lokomotif Penulis Muda Indonesia (2003). Bersama teman-temannya di FLP, ia mendirikan dan mengelolah Rumah Cahaya (Rumah BaCA HAsilkan KarYA) yang tersebar di berbagai kota di indonesia. Ia juga merupakan mantan Redaktur dan Pemimpin Redaksi Majalah Annida (1991-2001) serta mendirikan Teater Bening, sebuah teater kampus di FSUI yang seluruh anggotanya adalah perempuan. Istri Tomi Satryatomo serta Ibu Abdurrahman Faiz dan Nadya Paramitha ini termasuk anggota Mejelis Sastra Asia Tenggara (Mastera) dan kini dipercayai sebagai Wakil Ketua Persatuan Sastrawan Muslim Sedunia (The International Legue of Islamic Literature) untuk Wilayah Indonesia.

Dalam kegiatan kepenulisan, Helvy Tiana Rosa sering diundang dalam berbagai forum sastra dan budaya di dalam dan luar negeri, seperti Malaysia, Singapura, Brunei, Thailand, Hong Kong, Jepang, Mesir hingga Amerika Serikat.

Dan Menurut survey Metro TV 2009, ia merupakan salah satu dari 10 Perempuan Penulis paling terkenal dan merupakan satu dari 15 Tokoh Muslim Indonesia yang terpilih sebagai 500 Muslim Paling Berpengaruh di dunia (Hasil penelitian The Royal Islamic Strategic Studies Centre, Jordan, bekerjasama dengan Georgetown University,2009). Helvy Tiana Rosa (atau yang biasa dipanggil Mbak Helvy atau HTR) telah menulis lebih kurang 40-an buku yang tidak hanya diminati di negeri sendiri, namun juga beberapa karyanya telah diterjemahkan ke dalam berbagai macam bahasa di antaranya, Inggris, Arab, Jepang, Swedia, Jerman dan Prancis.

Ia pernah memenangkan berbagai perlombaan menulis tingkat nasional, termasuk sebuah lomba essay berhadiah Rp. 100 juta (2007). Namun menurutnya, yang paling berkesan adalah ketika puisinya ‘Fisabilillah” menjadi juara lomba Cipta Puisi Yayasan Iqra, tingkat Nasional (1992), dengan HB Jassin sebagai ketua Dewan Juri. “Jaring – jaring Merah” terpilih menjadi salah satu cerpen terbaik Majalah Sastra Horison dalam satu dekade (1990-2000). Lelaki Kabut dan Boneka mendapat Pena Award sebagai kumpulan Cerpen terpuji, terakhir BUKAVU menjadi salah satu nominasi di ajang Khatulistiwa Literary Award.

Abdurrahman Faiz, putranya, adalah penulis muda yang cukup potensial yang dimiliki Indonesia dengan berbagai prestasi dan karya yang luar biasa. Sedari kecil (8 tahun), Faiz telah menulis buku kumpulan puisi yang diakui kualitasnya oleh sastrawan Indonesia sekaliber Taufik Ismail. Juga meraih penghargaan di beberapa ajang buku bergengsi di tanah air. Tentu saja ini tak lepas dari pengaruh Helvy Tiana Rosa dalam mendidik anak-anaknya.

Helvy memiliki ketertarikan luar biasa menulis tentang tragedi – tragedi kemanusiaan, bahkan tak jarang tulisannya membutuhkan ancang – ancang penelitian.

Dalam bukunya Segenggam Gumam (Asy Syaamil, 2003) Helvy bertutur bahwa dua tema yang mewarnai hampir semua tulisannya adalah tema kecintaan pada Illahi dan perjuangan kaum tertindas.

Mengapa?!

”Bagi saya, menulis adalah refleksi dari amar makruf nahi mungkar. Dalam hal ini saya berusaha mengajak pembaca merenungi kembali hakikat diri sebagai hamba Illahi. Selain itu, saya ingin menginformasikan sekaligus menggungah kepedulian pembaca tentang pelanggaran hak – hak asasi manusia di dunia pada umumnya dan di Indonesia khususnya.”


Apakah yang saya ingat tentang Helvy?


Saya teringat ketika pertama kali Helvy menulis kata. Berbagai penerbit menolak karyanya, karena Sastra Islami yang diusungnya dianggap sebagai produk yang kurang laku di pasaran.

Namun sejarah memang selalu membuktikan, bahwa perjuangan tanpa henti dan keyakinan berjalan di jalan kebenaran adalah sebuah tekad yang tak layak untuk mati muda! Bahkan sebuah kumpulan cerpennya yang dimuat di berbagai majalah diplagiat habis – habisan oleh Ahmad Faris Muda, M.A (kini doktor dan dosen di Universitas Malaya, Malaysia). Apakah semua itu membuat Helvy jatuh dalam jurang keputus asaan? Kita bisa melihatnya bukan?!

Kegigihan mengkampanyekan sastra yang menginspirasi adalah satu hal positif yang juga bisa diteladani dari seorang Helvy dan juga barisan penulis muda Forum Lingkar Pena yang didirikannya. Tentu saja, sastra sangat berpengaruh dalam membentuk peradaban bangsa. Namun, yang aneh, ada banyak sekali penulis Indonesia dan juga dunia yang kurang memahami hal ini. Maka lahirlah genre “sastra kelamin” dan sejenisnya yang, menurut saya, tidak memberikan apa – apa bagi pembacanya, selain pikiran – pikiran negatif, apalagi kalau dibaca anak – anak dibawah umur. Mengutip Vaclav Havel, Seorang penulis harus hidup dalam kebenaran, selamanya!

Lewat Forum Lingkar Pena (FLP), Helvy, yang saat ini adalah Dosen Bahasa dan sastra Indnesia di fakultas Bahasa dan Seni Universitas Jakarta ini, juga menggagas Antologi Kasih, sebuah program menulis karya secara ‘keroyokan’ di FLP yang seluruh royaltinya digunakan untuk kemanusiaan. Diantaranya, antologi kasih pernah dibuat untuk korban Tsunami, Palestina dan lain sebagainya.
Melalui sosok Helvy Tiana Rosa yang pernah mendapatkan penghargaan sebagai Tokoh Perbukuan IBF Award IKAPI (2006), Perempuan Indonesia Berprestasi versi Tabloid Nova (2004), UMMI Award (2004) dan Ikon Perempuan Indonesia versi majalah GATRA (2007) ini, perempuan Indonesia bisa belajar, bahwa ada banyak hal yang bisa dilakukan perempuan Indonesia untuk meraih impiannya dan berjuang dengan apapun yang mereka miliki, tentu saja tanpa mengesampingkan urusan keluarga yang tetap saja haruslah menjadi prioritas utama.


Apakah yang paling saya ingat tentang Helvy?

Ketika Mas Gagah Pergi(KMGP) adalah salah satu bukunya yang cukup populer dan sangat inspiratif. Membaca buku itu, membangkitkan semangat saya untuk menjadi lebih baik dari hari ke hari. Adik – adik sayapun saya ‘paksa’ untuk membaca buku itu. Alhamdulillah merekapun menangkap ibroh buku itu. Buku itu entah berapa puluh kali berpindah tangan, dipinjam oleh teman – teman saya. Sampai akhirnya buku itu hilang tak tentu rimba di tangan seorang peminjam. Mas Gagah menghilang di rak buku saya, tapi kenangan tentangnya membekas begitu kuat dalam hati saya.

Sejak itu pula, saya mulai menulis. Jika sebelumnya, saya punya ratusan koleksi puisi cinta picisan, membaca buku itu membuat saya ingin menulis hal – hal yang lebih berguna. Maka sayapun menulis. Terus menulis tanpa kenal lelah. Orang – orang Annida, saya rasa, pasti sangat bosan menerima kiriman cerpen dan puisi yang saya ketik dengan susah payah dengan mesin ketik tua milik paman saya. Jari-jariku sampai kebal karena seringnya ‘bertarung’ dengan tuts mesin tua itu untuk menghasilkan karya. Saking bosannya (atau kasihan, hehehe) akhirnya, tulisan pertama saya dimuat di Annida, Epik Di Bawah Redup Rembulan Merah. Selanjutnya berbagai karya lain mengalir seperti air. Bukan hanya di Annida, tapi juga Sabilli, Al-Izzah, Deep Smile File (sudah tidak terbit), bahkan Horison!!!
Sampai kemudian, karena begitu mencintai dunia menulis, saya berkeinginan membangun jaringan Lingkar Pena di kota saya. Dengan perjuangan yang lumayan melelahkan, berkat bantuan Mbak Helvy, keinginan itupun terwujud.

Tahun 2005, FLP mengadakan Musyawarah Nasional (Munas) I. Saya menyiapkan diri untuk mengikuti acara itu, agar saya lebih mengetahui ‘luar dalamnya’ FLP.


Apakah yang paling saya ingat tentang Helvy?!

Alhamdulillah, saat menjelang Munas, buku pertama saya yang berupa Kumpulan Cerpen Negeri Airmata terbit. Mbak Helvy mengsms saya saat itu ‘Semoga buku ini menjadi langkah awal lahirnya buku-buku bermutu lainnya di masa mendatang’. Kata – kata yang memberikan inspirasi dan motifasi saya dalam berkarya. Kata itupun dicetak di buku perdana saya.

Akhirnya, tiba juga saya di acara Munas; Yogyakarta. Karena kurang biaya, saya melalui perjalanan darat yang lumayan melelahkan. Tapi, membayangkan bahwa saya akan bertemu seorang Helvy Tiana Rosa dan juga penulis – penulis lainnya, membuat semangat saya seolah jerami bertemu api.

Sekalipun cukup lelah, begitu sampai di ruang Munas, saking semangatnya, saya tidak mau istirahat. Rasanya rugi tidak mengikuti semua kegiatan dengan baik. Sayapun berakraban dengan teman – teman baru saya; Agus Makasar, Furqon Solo dan beberapa teman dari Samarinda.

Sampai akhirnya, dia ada di belakang saya. Seperti seorang artis dalam jumpa fans dengan penggemarnya yang saya tonton di televisi. Memberikan surprise. Helvy Tiana Rosa. Ia menghampiri saya, membawakan saya makanan kecil dan juga segelas air minum.
Itu adalah pertama kali saya bertemu dengannya. Dan ia telah mengajarkan pelajar pertama untuk saya; Dirman..., jika kau telah ‘besar’, janganlah tinggi hati. Tetaplah mencintai dan rendah hati pada orang – orang sekitarmu. Hehehe...

Saya seolah dihipnotis.

“Saya bawakan mbak buku saya. Ada di tas saya, saya ambilkan sekarang?!” Ujar saya semangat, seperti anak TK yang ingin menunjukkan pada gurunya sebuah gambar cakar ayam yang baru dihasilkannya.

“Nggak usah, dek. Nanti saja. Jika kamu lelah, istirahat saja dulu.”

Itulah perjumpaan pertama saya dengannya. Membekas dan tak lekang dalam ingatan.


Apakah yang paling saya ingat tentang Helvy?!

Detik- detik menjelang Munas berakhir, ia memberikan saya dua buah bukunya. Untuk adikku Dirman; menulis adalah berjuang..., tulisnya di halaman buku itu.

“Ingat. Hati – hati dengan penumpang bus. Jangan terlalu percaya pada orang yang baru kamu kenal dalam bus. Bunda pernah dihipnotis sampai barang – barang Bunda banyak yang hilang. Kamu yang hati – hati ya.” Pesannya.

Itulah Helvy!

“Kamu masih punya ongkos pulang, bukan?!” tanyanya.

“InsyaAllah cukup, mbak.”

“Mbak tambahkan sedikit ya...”

Ia menyelipkan uang itu di buku saya, yang saya terima.... dengan senang hati. Hahaha... (malu!)
Sejak itu, saya bukan hanya belajar untuk menulis dengan baik, tapi juga untuk menjadi pribadi yang lebih baik, yang lebih cinta.

Tahun 2006, mbak HTR-lah yang repot-repot mengsms saya. Memberikan dorongan agar saya mau mengikuti seleksi untuk mengikuti MASTERA (Majelis sastra Asia Tengara). Sampai akhirnya, alhamdulillah, saya diutus untuk mengikuti Mastera; Novel, mewakili Indonesia. Sebuah pengalaman luar biasa dalam karier kepenulisan saya.

Maka, tidak berlebihan jika saya bilang; Helvy Tiana Rosa itu cinta berjalan. Yang selalu menebarkan cinta pada semesta. Karena itu, tidak berlebihan jika Abdurahman Faiz mencintainya seperti syurga.* Ya, karena akupun mencintainya, juga seperti aku mencintai syurga.(adym)


Revisi, 16 April 2010


* Sepenggal puisi Abdurahman Faiz.
* Gambar adalah editan saya dari foto di fb Helvy Tiana Rosa



Bahan Bacaan dan sumber :


1. Buku Segenggam Gumam karya Helvy Tiana Rosa, Asy Syaamil, Bandung, 2003

2. Permen – permen Cinta Untukmu, Abdurrahman Faiz, MIZAN, Bandung, 2006

3. http://www.facebook.com/?sk=ru#!/note.php?note_id=299879749412

4. http://akhidirman.multiply.com/journal/item/9/HELVY_ITU_CINTA

Kamis, 03 Juni 2010

BAYANG - BAYANG KEMATIAN (CERPEN)


BAYANG – BAYANG KEMATIAN


Kegelapan menutupi segala. Hanya selarik cahaya kecil yang memantulkan pendar-pendar sinar pada kedalaman bola mataku.
Ku edarkan pandang ke segala sudut. Sebuah ruang pengap yang sesak oleh sampah entah terkumpul dari mana. Aneh! Ya, tiba-tiba aku merasa keanehan seolah menerobos tiap sendi tubuhku. Ruangan apa ini?! Mengapa aku bisa berada di tempat seperti ini?!! Aku merasa tak pernah mengenal tempat seperti ini, bahkan dalam mimpi sekalipun! Lantas bagaimana bisa aku terseret ke tempat seangker ini?!
Aku gerakkan kakiku beberapa meter mendekati tumpukan sampah itu. ku tutup hidungku, agar bau busuk itu tidak terlampau jauh memenuhi otakku.
Sampah itu…. sampah?!!
Astaga! Ternyata sampah itu adalah…. Tumpukan tulang-tulang manusia! Mengapa?!
Dan tiba-tiba aku merasakan kepalaku diserang sebuah kejutan yang maha dahsyat, mengembalikanku pada masa yang lewat bersama desiran angin.
Aaaaaaah!

  

8 jam yang lalu…
Sebuah diskotik yang ramai dan gemerlap lampu warna warni menerpa setiap sudut yang buram. Botol-botol minuman keras dan aroma morfinis mengepul memenuhi ruang.
Inilah istanaku!
Istana?! Ya, setidak-tidaknya di tempat seperti inilah aku bisa berubah menjadi raja! Sementara di rumahku?! Bah! Rumah bagiku adalah neraka tempat segala setan memuaskan nafsu dunia dengan menumpuk-numpuk harta dan kemewahan. Setan-setan itu sering berkoar di layar kaca tentang kesuksesannya. Setan-setan itu adalah Papa dan Mamaku! Dan aku adalah anak setan!
Setiap hari, Papaku yang pengusaha tenar itu sibuk dengan bisnisnya. Dan Mama?! Iapun tak kalah sibuk dengan seminar-seminar yang hanya sekedar pemuas hegemoni. Arisan inilah, arisan itulah, ngurusin anak yatimlah, dan mereka tidak pernah menghiraukan seorang anak yatim piatu lain yang mereka kurung dalam istana sunyi; aku, Diana! Anak mereka yang masih kelas satu SMU yang membutuhkan kasih sayang mereka.
Karena itu, jangan salahkan aku, ketika aku mencari istanaku sendiri untuk berbagi resah dan galau, ya… tempat ini! Hanya tempat ini! Di sinilah aku bisa membasahi jiwaku yang kering kerotang dan membebaskan diri dari kesunyian yang selama ini mengekangku!

  


7 jam yang lalu…,
Aku telah mengantongi beberapa pil extasy, ketika dua lelaki kekar itu mencengkram dengan kuat kedua lenganku. Aku memberontak dan berusaha melepaskan diri, tapi semua terasa sia-sia. Pegangan kedua lelaki itu terlalu kuat untuk dilawan.
“Apa-apaan ini?!”
“Maaf nona Diana, kami….”
“Peduli setan dengan maaf kalian. Kalian siapa?!”
“Kami disuruh oleh pak Harvey, bapak nona untuk membawa nona ke rumah.”
Aku tertawa terbahak. Papa?! Sejak kapan ia perhatian padaku?!
“Beberapa jam lagi akan ada pertemuan keluarga di rumah nona. Nona seharusnya ada di rumah, bukan di tempat seperti ini!”
“Eh, kalian pikir kalian siapa?! Jangan…..”
Aku tak sempat melanjutkan ucapanku. Seseorang di antara lelaki itu menyumpal hidungku dengan sapu tangan yang aku duga mengandung obat bius, karena tiba-tiba aku merasa ngantuk. Mataku terasa berat.
“Jangan kuatir, ini hanya berpengaruh selama beberapa menit. Nanti juga dia akan sadar…” lamat ku dengar sebuah suara, kemudian aku tak ingat apa-apa lagi.

  


5 jam yang lalu…,
Mataku masih terasa berat, namun kupaksakan diri menahan kantuk. Astaga! Ku edarkan pandang, aku telah berada di sebuah kamar mewah dengan seprey hijau lumut bermotif hello kitty, kamarku sendiri!
Sialan banget dua gembel yang dibayar ayah! Padahal, aku sudah janji sama Irvan, hadi, Seno, Emy, Khairul, Is dan teman-teman dugemku untuk berhappy ria di sebuah villa yang sudah kami boking selama satu minggu. Mumpung liburanlah! Tapi kalau nggak liburanpun, aku akan tetap ber-happy bareng teman-teman gaulku. Ngapain juga Sekolah. Apa sih gunanya?!
Swear deh! Aku benci sekali pada yang namanya Sekolah, apalagi kalau bertemu Dewi, Hitnur, Ida and the gank yang bergabung dalam Rohis Sekolah. Belum lagi cowoknya , wuihhh… sayang banget deh, padahal tampang mereka lumayan cute, tapi amit-amit deh, masih muda dipanggil akhi, kayak kakek-kakek aja ya. Pake jenggot naga lagi! Belum lagi sikap mereka error banget deh!
Bayangin!
Masa sih sama cewek nggak boleh salaman and kalau jalan nunduk melulu! Error banget kan?!
“Itu namanya ghodul bashar, Na. Menjaga pandangan.” Ucap Dewi suatu hari. Kebetulan ia satu kelas denganku.
Mau gundul, kek, mau panjang kek, emang gue pikirin. Hik… hik… hik…., aku ketawa dalam hati.
“Eh, lu botak ya… atau… kuping lu kemakan anjing sebelah ya?! Kok pake jilbab sih?!” tanyaku iseng.
Dewi beristigfar. Sok alim banget sih! Nyebelin tahu!
“Na, ini adalah perintah Allah kepada setiap wanita muslim yang telah dewasa untuk menutup aurat mereka.”
“Aurat?! Hahaha… lu tahu nggak?! Gue malas mikirin yang gitu-gitu. Gue bahkan udah dua kali gugurin kandungan gue…” ucapku jujur, sambil mencibir.
Dewi melongo,” Astagfirullah… apakah kamu tidak takut mati?!”
Mati?! Bah! Gue masih muda. Ngapain mikirin mati segala! Kakek gue yang udah lapan puluhan aja belum juga mati, apalagi gue?!

  




4 jam yang lalu…,
Papa dan mama masuk ke kemarku dengan wajah merah menahan marah. Aku menyambutnya cuek.
“Memalukan! Kamu tahu kan kalau dua jam lagi ada pertemuan keluarga?! Wartawanpun pasti akan datang untuk meliput. eh… kamu malah kabur, mau bikin kami malu, ya?! Ke diskotik lagi. Diskotik itu tempatnya orang yang nggak bener, tahu!!” Ujar papa marah.
Masa bodoh!
“Ya, sudahlah! Sekarang sebaiknya kamu mandi dan berdandan yang cantik.” Mama berkata lembut.
Sandiwara yang sempurna! Tapi, mana aku peduli!

  

1 Jam yang lalu…,
Tamu-tamu sudah berkumpul di taman belakang yang telah disulap menjadi ruang pesta yang mewah, tapi tidak bagiku! Ini neraka, ya, neraka!
Aku muak!
Tergesa, aku berlari menuju kamarku. Pil itu, ya, pil itu ku telan beberapa butir, tapi tidak bereaksi. Aku tumpahkan semua pil itu di telapan tanganku, kemudian menelan semuanya.
Beberapa detik kemudian aku merasakan kenikmatan yang luar biasa dahsyat. Tapi… mengapa kesakitan menjalar ke seluruh bagian tubuhku?! Ada apa ini?!
“Aaaaaaaaaaaaaaahhhhhhhhhhh….!!!!” Aku berteriak kuat-kuat, tapi sebuah kekuatan menyeretku, tanpa kemampuan untuk melawan. Tubuhku meluncur jauh ke sebuah ruang gelap.

  


Setengah jam yang lalu…,
Dua makluk kekar berwajah seram membawaku pergi. Terbang melintasi lembah ngarai yang pekat. Aku bisa merasakan sebuah bayang-bayang menyelinap di antara suara papa dan mama yang terdengar lirih, seolah berjarak bermil-mil. Baying-bayang itu menyiptakan sebuah ketakutan yang maha dahsyat, mengingatkanku pada ucapan Dewi; Apakah kamu tidak takut mati… tidak takut mati… mati… mati… mati… mati…?!
Ya! Bayang-bayang itu bernama kematian!

  


Aku menutup wajahku dengan kedua tanganku. Tuhan… tolonglah aku! Sekali nama itu ku sebut, menciptakan sebuah kerinduan yang selama ini mati, ataukah… sebuah ketakutan yang childish?!
Apakah aku… telah mati?!
Tiba-tiba mataku melihat sosok kaku terbujur di atas sebuah ranjang yang penuh belatung busuk dan anyir darah. Aku menutup hidungku dan memandang sosok yang diselimuti kain kafan itu.
Aku hampiri sosok itu dan dengan tangan gemetar menahan ketakutan yang menjalar diam-diam, aku tarik kain kafan itu. jantungku berdetak keras memandang sesosok tubuh yang telah rusak yang terpampang di hadapanku, membuatku mual. Aku bisa melihat dengan jelas isi perut mayat di hadapanku yang telah digerogoti belatung dan binatang kecil lainnya. Aneh! Hatinya masih utuh. Hati itu berwarna hitam seperti jelaga dan binatang-binatang kecil yang busuk berloncatan menciptakan aroma anyir yang memualkan. Aku hampir muntah.
Namun tiba-tiba wajah mayat itu berubah membentuk sebuah wajah yang membuatku terpana. Wajah itu… wajahku! Aku?!
“Aaaaahhhh…!” aku berteriak histeris. Sebuah tangan maya seolah menarikku ke sebuah ruangan gelap tanpa cahaya. Dan aku merasakan panas yang maha dahsyat menerpa tubuhku.
Aku… aku telah mati?!
“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaahhhhhhhhhhhhhhh…..
Sebuah penyiksaan baru saja dimulai… ***

Rato-Dorowila, 29 Mei 2003